Masyarakat Adat: Bukan Sekedar Tanah dan Uang

0


Keberagaman suku, bangsa, dan budaya Indonesia menjadikannya negara majemuk. Lebih dari 300 suku ada di Indonesia, dan masing-masing memiliki budaya dan karakteristik unik mereka sendiri. Masyarakat adat, yang merupakan kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan tinggal di wilayah adat secara turun-temurun, adalah salah satu komponen yang menyusun Indonesia sebagai negara multikultural. Masyarakat Adat memiliki otoritas atas tanah dan kekayaan alam mereka, memiliki hukum adat yang mengatur kehidupan sosial-budaya mereka, dan memiliki lembaga adat untuk menjaga kelangsungan hidup mereka.

Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999, tanah adat adalah tanah yang diberikan hak ulayat sesuai dengan hukum adat tertentu. Meskipun peraturan sudah jelas menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak penuh atas sumber daya tersebut, banyak dari mereka diusir dari tanah warisan leluhur mereka. Menurut CNN Indonesia, penyebab utama perdebatan tentang tanah adat adalah tidak adanya perbatasan yang jelas antara hutan adat dan tanah milik negara, di mana pemerintah sering menetapkan batas hutan tanpa melibatkan masyarakat secara langsung.

Masyarakat adat selalu dihadapkan pada pilihan antara tanah dan kekayaan. Hamparan tanah yang diperjuangkan oleh masyarakat dialihgunakan menjadi perkebunan sawit, belum lagi masalah lain yang mungkin tidak terungkap. Misalnya, konflik yang terjadi pada tahun 2020 menyebabkan banyak masyarakat adat di Besipae, Nusa Tenggara Timur (NTT), meninggalkan tempat tinggal mereka karena perselisihan hutan adat Pubabu. Akibatnya, mereka harus tetap di alam terbuka karena mereka lambat laun digusur. Kenyataan tersebut bertolak belakang dengan upaya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 18B ayat 2 dalam menjaga dan memajukan hak-hak masyarakat adat.  "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang," kata ayat 2 Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945.

Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 juga tidak sesuai dengan kondisi masyarakat adat yang memprihatinkan. Rekomendasi untuk revitalisasi dan aktualisasi budaya ditemukan dalam arah kebijakan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat adat seharusnya memiliki wilayah adat mereka sendiri dan memiliki tradisi yang dijaga keberlanjutannya dari generasi ke generasi. Sampai saat ini, jelas bahwa produk hukum masih sangat lemah dan hanya berfungsi sebagai aturan kertas.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah berusaha keras untuk mendorong Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PHMA). AMAN, bersama kelompok masyarakat sipil, telah meminta selama lebih dari sepuluh tahun, sejak dimulai pada tahun 2009 lalu, agar kemajuan ini segera disahkan. RUU PHMA akan diterbitkan meskipun upaya itu tidak menghasilkan hasil.

Hingga saat ini, masyarakat adat masih berusaha untuk memperoleh hak-hak mereka dan perlindungan dari negara, yang merupakan amanat konstitusi. Karena banyaknya konflik tanah dan hutan yang menimpa mereka, terutama dengan pelaku bisnis, kecakapan hukum sangat penting. Jika tidak, masyarakat adat akan dikalahkan dalam masalah penguasaan.

Perundang-undangan dan peraturan lain yang mengikat diperlukan untuk melindungi masyarakat adat, bukan hanya janji semata. Karena masyarakat adat merupakan aset budaya bangsa yang harus dipertimbangkan dalam setiap pengambilan keputusan, kepastian dan posisi mereka menjadi lebih diperhitungkan.


Oleh: Nilna Husnayain, Pengurus HMI Cabang Semarang

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top