Era Baru Bumi: Global Boiling

0

 


Pada bulan Juli lalu, kita mendapat peringatan dari Sekretaris PBB, Antonio Guteres yang menarik atensi seluruh umat manusia di bumi. Guteres dalam pidatonya menyatakan bahwa saat ini pemanasan global telah berakhir dan mulai memasuki era “Global Boiling” atau pendidihan global. Hal tersebut merujuk pada data yang baru dikeluarkan oleh Uni Eropa dan Organisasi Meteorologi Dunia.

Sepanjang sejarah bumi, bulan Juli 2023 ini menjadi bulan paling panas dengan suhu harian rata-rata global naik dari 17,01 derajat Celsius menjadi 17, 23 derajat Celsius. Suhu yang ekstrem ini melanda hampir seluruh benua. Benua yang paling parah terdampak Global Boiling adalah Amerika Utara, Eropa, Asia, dan Afrika.

Global Boiling menimbulkan banyak malapetaka bagi seluruh makhluk hidup di bumi. Bencana mulai marak terjadi. Contoh bencana tersebut yaitu kebakaran lahan di kawasan Hawaii yang memakan korban 55 orang, Topan Doksuri di China yang menewaskan 78 orang, hingga Banjir di Myanmar yang mengakibatkan lebih dari 40.000 orang harus mengungsikan diri.

Buku berjudul “The Heat Will Kill You First” yang ditulis oleh Jeff Goodell secara implisit menyatakan bahwa gelombang panas dari fenomena Global Boiling menyasar pada kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, anak-anak, dan orang yang tengah sakit. Kelompok inilah yang banyak menjadi korban dari Global Boiling.

Siapa yang Salah?

Dalam pidato di PBB, Guteres juga mengutarakan bahwa pihak yang patut disalahkan adalah manusia. Perilaku manusia selama ini yang membuat perubahan iklim menjadi ekstrem. Manusia konsumtif yang semakin mengeksplor kekayaan sumber daya alam dan akselerasi peradaban yang semakin maju tidak diimbangi dengan solusi dampak dari kemajuan tersebut semakin lama justru akan menjadi boomerang untuk manusia sendiri. Tindakan yang memerdulikan lingkungan sekitar harusnya menjadi prioritas utama demi keberlangsungan generasi yang akan datang.

Jika sudah demikian, untuk mengatasi problematika ini tentu diperlukan kerja sama yang lebih intensif dari segala lini. Semua pihak harus bahu membahu bersinergi menurunkan krisis ilkim tersebut. Tidak hanya dari kalangan korporat, tetapi juga mulai dari akar rumput terutama generasi mudanya.  Pemerintah terutama para pemimpin negara di seluruh dunia juga harus mengambil tindakan sesegera mungkin.

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia membutuhkan waktu 15-25 tahun untuk bisa melakukan nirkabon. Bahkan, Indonesia tepatnya Jakarta beberapa kali mendapat predikat sebagai Kota Paling Berpolusi di Dunia. Sehingga, membutuhkan effort lebih untuk dapat menanggulangi problematika ini. Sementara negara-negara maju mencanangkan per tahun 2030. Ketimpangan ini perlu ditutup dengan adanya mitigasi dan adaptasi secara bersama-sama. Bukan justru saling menarasikan hal-hal negatif antar negara maju dengan negara berkembang.


Oleh: Wahyuni Tri Ernawati, Kader HMI Cabang Semarang

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top