Negara Bahagia, Parameter Akurat atau Salah?

0

 


Kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia memiliki kualitas dan kuantitas yang berbeda. Perbedaan itu muncul, bisa jadi, karena adanya masalah internal dan eksternal. Internal yakni masalah pemerintahan atau political will, adat istiadat, budaya dan lainnya. Eksternal meliputi globalisasi, perang dan lain sebagainya. Maka dari itu, setiap masyarakat, diwadahi oleh negaranya, berlomba-lomba untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas mereka untuk menjadi negara yang adidaya.

Namun, peningkatan kualitas tersebut tidak semudah membicarakannya saja. Sebab, kembali lagi, permasalahan suatu negara itu sangat kompleks. Satu hal bisa menjadi paradok bagi hal lainnya. Sebagai contoh, apabila ada masalah internal di negara (baca: oknum pemerintah) yang mengutamakan kepentingannya sendiri, bisa juga oknum pemerintah tidak menguasai bidang, sehingga peningkatan kualitas mengalami kendala.

Maka dari itu, parameter diperlukan. Sebab, parameter berguna untuk berpartisipasi membuat kehidupan masyarakat dan negara menjadi lebih baik, salah satunya dengan menjadikan masyarakat sadar akan posisi atau tingkatan mereka. Sehingga, masyarakat dapat menilai dan meningkatkan kualitas diri dan bangsa. Parameter sangat berguna, apalagi penilaiannya dilakukan secara masif dan data based.

Tetapi, apakah pernah terfikir bahwa parameter tersebut tidak seakurat kelihatannya? Atau tujuannya tidak semurni yang difikirkan? Hal ini merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Sebab, berbagai parameter tidak selalu objektif, sesuai untuk seluruh masyarakat di dunia. Berbeda jika parameter itu dikhususkan untuk satu negara atau wilayah saja. Sehingga, wilayah yang tidak termasuk tidak perlu menyesuaikan diri

Sebagai contoh, jika kita Jika kita melihat parameter Miss Universe, mereka adalah wanita dengan kulit tone terang, tubuh tinggi nan semampai, wajah simetris yang didukung dengan mata lebar, hidung mancung dan bibir yang indah. Hal ini membuat banyak orang berpaku pada satu jenis kecantikan. Sebab, orang-orang awam cenderung meniru dan berpatokan pada mode dan popularitas. Padahal, seperti yang kita ketahui, kecantikan tiap orang adalah relatif. Seandainya saja patokan kecantikan itu bukan fisik, namun semata-mata karena kepintaran, maka tak akan ada Zozibini Tunzi sebagai Miss Universe kulit hitam pertama. Tidak akan ada Aaron Phillip sebagai model fashion NY Fashion Week pertama. Jika demikian, kecantikan badani menjadi sesuatu yang amat sangat relatif dan berkualitas.

Jika diperhatikan lebih baik lagi, kriteria Miss Universe cenderung mirip dengan ciri fisik ras Kaukasoid, ras mayoritas warga eropa. Mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya bisa didapatkan dengan mudah: Miss Universe awalnya adalah underbow dari Miss America. Wajar saja, jika standar kecantikan Miss Universe begitu identik dengan ciri fisik ras kaukasoid. Hal ini tentu tidak adil bagi wanita yang tak terdefinisikan kecantikannya, walaupun ia memiliki lebih banyak wawasan, pengalaman, pengabdian dan dedikasi pada kemanusiaan.

Standar kecantikan yang disamakan itu dapat menimbulkan berbagai dampak panjang bagi Amerika maupun bagi negara terdampak. Amerika, yang notabene sebagai pencipta, akan mendapatkan rekognisi dan secara otomatis menjadi lebih superior. Sebab, negara lain akan mengikuti mereka dan secara tidak langsung menjadikan mereka kiblat. Permainan Psikologi memenangkan peran dalam parameter ini. Inilah yang bisa dinamakan vested interest, atau motif kepentingan.

Contoh selanjutnya, yang tak kalah penting, adalah parameter negara bahagia. Negara bahagia adalah sebuah parameter yang diterbitkan oleh World Happiness Report. Setiap tahun, mereka menerbitkan negara mana yang bisa dijadikan patokan sebagai negara paling bahagia di dunia. Tolak ukurnya adalah jumlah pendapatan, harapan hidup sehat, dukungan sosial, kebebasan dan kemerdekaan, kepercayaan pada pemerintah dan kedermawanan terhadap negara. Jika dilihat sekilas, tolak ukur ini adalah parameter yang ideal. Namun, seperti Miss America dan Miss Universe, benarkah tidak ada vested interest di parameter ini?

Qatar, merupakan negara yang, bisa dibilang, paling menyejahterakan rakyatnya. Bagaimana tidak? Setiap bayi yang lahir dalam satu keluarga langsung difasilitasi dengan rumah oleh pemerintah. Tak hanya itu, siswa di Qatar mendapatkan beasiswa pendidikan dari lahir sampai menempuh pendidikan tertinggi. Kualitas dan kuantitas yang ditawarkan negara Qatar pada penduduknya adalah pertama di dunia. Secara naluriah, tak mungkin penduduk di Qatar tidak bahagia dengan berbagai kecukupan tersebut.

Sayangnya, menurut World Happiness Report 2021, Qatar tidak mendapatkan jatah posisi sebagai negara paling bahagia di dunia. Ia bahkan kalah dari negara dengan pendapatan perkapita di bawahnya. Jika kita menelisik lagi tolak ukur parameter ini, Qatar mungkin memang mustahil masuk di peringkat atas. Sebab, salah satu tolak ukurnya adalah kebebasan dan kemerdekaan.

Sebagai tambahan informasi, World Happiness Report dipersembahkan oleh Gallup World Poll data. Gallup World Poll data merupakan perusahaan yang dikembangkan oleh George Gallup (1901-1984). Ia merupakan pionir Amerika dalam hal survey dan statistika. Gallup World Poll data memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Amerika. Tentunya, tidak menutup kemungkinan bahwa World Happiness Report dan Gallup World Poll membuat parameter, secara umum, berdasarkan kebijakan-kebijakan di Amerika Serikat. Masih ingat Vested Interest?

Kembali pada tolak ukur, sebagai negara dengan Islam sebagai agama resminya, Qatar tentu memiliki banyak batasan. Batasan-batasan yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah ini, tentunya dianggap sebagai ketidak bebasan berpendapat bagi negara sekular. Jika demikian, tentunya Qatar akan sulit unggul dibanding negara lain. Sehingga, walaupun Qatar memiliki pendapatan perkapita tinggi dan memiliki kualitas dan kuantitas penyejahteraan yang tak kalah tinggi juga, Qatar tetap tak bisa menjadi juara.

Jika kita simpulkan dari contoh-contoh di atas, dapat kita simpulkan bahwa parameter yang diciptakan oleh sekelompok tertentu merupakan kepentingan segelintir orang saja. Maka, walaupun memberi manfaat positif, tetap saja parameter ini tidak bisa diterapkan di semua wilayah. Wallahu ‘alam.

 

Zulfa Amila Shaliha, Kader HMI Cabang Semarang, Mahasiswa Universitas Islam Sultan Agung

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top