Perempuan Sebagai Inkubator Peradaban

0

 


Perempuan dikenal sebagai makhluk yang lemah sejak era Yunani Kuno. Pada zaman itu, perempuan Yunani tidak boleh terlibat dalam urusan politik, perang, maupun pemerintahan (Asmanidar, 2015). Sebaliknya, urusan domestik menjadi hal utama yang harus mereka kerjakan. Sebagian gaya hidup patriarki Yunani Kuno itu kemudian diadaptasi oleh banyak wilayah yang menjadikan perempuan terdiskriminasi hak dan ruang geraknya. Padahal perempuan juga makhluk yang tanpanya tidak akan ada generasi yang kemudian melahirkan peradaban.

Diskriminasi ini juga terjadi di wilayah Jazirah Arab yang saat itu dikenal sebagai al-Nufud (Hitti, 2005). Masa pra-Islam tidak jauh berbeda mengerikannya perlakuan terhadap makhluk yang satu ini. Anak-anak yang lahir dengan jenis kelamin perempuan dianggap sebagai aib hingga pantas untuk dibunuh dengan menguburnya hidup-hidup. Mereka layaknya barang yang dapat diwariskan seperti harta benda lainnya(Adinugraha et al., 2018).

Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan di Arab terdapat perempuan bermatabat tinggi, Khadijah misalnya. Berkat lahir dari suku yang terhormat dan pernah menikah sebelum dengan Muhammad, Khadijah dapat memiliki harta yang sangat berlimpah. Dalam salah satu literature bahkan menyebutkan bahwa harta yang dimiliki Khadijah setara dengan sepertiga kekayaan Makkah saat itu.

Ketika Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad datang, beliau berusaha mengangkat derajat perempuan yang dianggap makhluk tidak berguna. Tentu dengan panduan dari Allah swt melaui firman-firman-Nya, Nabi Muhammad mulai melakukan reformasi. Dengan datangnya Islam ditengah-tengah masyarakat patriarki, kaum perempuan dapat memperoleh hak sebagai ahli waris. Bahkan, kedudukan perempuan dalam hal kecerdasan terkadang lebih unggul daripada laki-laki. Hal ini tercermin dalam diri salah satu istri Nabi yang paling muda yaitu Aisyah r.a (Muhibbin, 2011).

Dari Rahima Ke Rahim

Kodrat perempuan adalah hamil, melahirkan, dan menyusui. Dari rahimnyalah lahir anak-anak yang akan menjadi cikal bakal penerus siklus kehidupan. Kodrat tersebut tidak bisa diniscayakan dari perempuan. Banyak feminism modern yang menurut sebagian orang telah melewati batasnya dalam kodrat ini. Misalnya seperti childfree yang merupakan produk feminism dan sebagai gerakan anti penjajahan laki-laki terhadap perempuan (Umam & Akbar, 2021). Dengan berbagai alasan, childfree tetap tidak sesuai dengan konsep Islam.

Dalam ajaran Islam, jenis  kelamin yang diakui ada dua yaitu laki-laki dan perempuan. Dalam al-qur’an Surah al-Hujurat ayat 13 dijelaskan bahwa Allah menjadikan laki-laki dan perempuan sebuah berbangsa-bangsa dan bersuku-suku yang saling mengenal. Dalam ayat tersebut tersirat pesan bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. Jika tidak ada perempuan, maka tidak ada kelahiran. Jika tidak ada kelahiran, tidak ada suatu bangsa atau suku.

Kemudian, Allah swt mensyariatkan sebuah pernikahan diantara laki-laki dan perempuan. Hukum sebuah pernikahan adalah wajib bagi yang memenuhi syarat. Tujuan dari pernikahan tidak lain adalah untuk melahirkan ketururan sebagaimana dalam Surah an-Nisa:1.

Dari pemahaman mengenai sebuah pernikahan dan tujuannya dalam al-qur’an, dapat dilihat bahwa al-qur’an tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki. Tanpa perempuan bahkan tidak ada sebuah kelahiran karena pemilik rahim satu-satunya adalah perempuan.

Menelisik dari akar katanya, rahim berasal dari kata rahima yang mempunyai makna kasih sayang. Dalam al-qur’an kata rahima disebut sebanyak 312 kali. Untuk itulah perempuan mempunyai rasa kasih sayang yang lebih kepada anaknya karena berada di rahim ibunya selama kurang lebih 9 bulan.

Pengaruh Perempuan Cerdas

Menjadi perempuan saja tidak cukup untuk membuat suatu peradaban yang maju. Pepatah Arab kuno mengatakan bahwa perempuan adalah tiang negara. Apabila perempuannya baik, maka baik pula negaranya. Tapi jika rusak perempuannya, maka rusak pula negaranya (Isnaini, 2016).

Pepatah diatas mengisyaratkan betapa pentingnya peran perempuan dalam pertumbuhan suatu bangsa yang maju. Hal ini karena perempuan memiliki intensitas waktu yang lebih lama dengan anak yang dilahirkannya daripada laki-laki. Sebab itu, menjadi perempuan tidak semudah yang dibayangkan. Selain  keterampilan yang tinggi dibutuhkan pula pengetahuan yang mumpuni.

Generasi Unggul

Terdapat setidaknya tiga langkah yang dapat dilakukan agar menjadi perempuan yang mampu melahirkan generasi-generasi unggul penerus peradaban. Pertama, berpendidikan dan berwawasan luas. Belajar memang bisa darimana saja. Berpendidikan secara formal masih menjadi hal tabu disebagian kalangan masyarakat Indonesia. Memang belajar bisa darimana saja. Namun kebanyakan masyarakat Indonesia yang memilih tidak melanjutkan pendidikannya berakhir dalam sebuah pernikahan. Padahal pernikahan membutuhkan pengetahuan yang mendalam didalamnya.

Kedua, keterampilan mengurus calon penerus. Perempuan yang berpendidikan tidak serta merta dapat melakukan yang terbaik pada anaknya. Ada banyak kasus anak yang lahir dari perempuan berpendidikan yang tidak terurus dengan baik. Maka, mengurus anak juga membutuhkan keahlian tertentu misalnya dapat meredakan tantrum anak. Sebab itu, marilah para perempuan untuk tidak mengenal lelah kata belajar demi mempersiapkan generasi yang unggul.

Oleh: Utia Lil Afidah, Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang

 


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top