JOKOWI NETRALLAH!

0

 


“Bukan cawe-cawe. Wong itu diskusi saja, kok, (disebut) cawe-cawe. Diskusi. Saya tadi sampaikan, saya ini juga pejabat politik. Urusan capres-cawapres itu urusannya partai atau gabungan partai,” ujar Presiden dalam rekaman video yang ditayangkan di acara Satu Meja The forum di Kompas TV, Rabu (10/5/2023) malam. Karena juga sebagai politisi, maka Presiden Jokowi merasa berhak dan wajar ikut dalam berpolitik praktis dan merasa tidak ada konstitusi yang dilanggar.

Statement yang diberikan oleh Jokowi memang seolah-olah benar. Sebab, setiap orang tentu dijamin hak dan kebebasannya dalam berpolitik. Meski demikian, tetap ada etika dan hukum yang berbeda ketika mengatur berpolitik untuk orang pribadi dengan berpolitik sebagai pejabat publik, termasuk presiden. Perlu diketahui, etika tidak bisa dilepaskan dari hukum. Pelanggaran etika berarti juga merupakan pelanggaran hukum. Etika merupakan pondasi dasar hukum. “Moral principle is the foundation of law,” kata Ronald Dworkin.

Seorang pemimpin bangsa mestinya paham akan etika berpolitik, etika bernegara, dan etika berkonstitusi. Siapapun tidak layak menjadi Presiden Republik Indonesia apabila tidak memahami dan melaksanakan etika berpolitik kepresidenan.

Nah, apabila disandingkan, terdapat perbedaan antara politik institusional Jokowi sebagai presiden dengan politik personal Jokowi sebagai pribadi. Irisan tersebutlah yang harus dipahami dan dibedakan penyikapannya secara tegas dan adil. Salah dalam memahami atau mencampuradukkan antara politik institusional Jokowi dengan politik personal Jokowi, akan menyebabkan benturan kepentingan (conflict of interest), yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Setidaknya, ada dua aspek yang harus dibedakan antara politik institusional seorang presiden dengan politik personalnya. Pertama, dari sisi kepentingan. Kedua, dari sisi fasilitas yang digunakan.

Dalam aspek kepentingan, politik institusional seorang presiden mestinya digunakan untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Politik presiden adalah politik kebangsaan. Politik dalam pengertian ini sifatnya adalah imparsial. Artinya, politik yang diperankan adalah politik yang didedikasikan untuk seluruh rakyat, tanpa terkecuali, tanpa membedakan, dan tanpa diskriminasi.

Maka, aneh rasanya saat Presiden Jokowi masih mengadakan temu relawan. Sebab, sifat relawan atau barisan pendukung adalah partisan dan dibentuk untuk memenangkan capres yang didukungnya. Relawan merupakan elemen pemenangan capres. Bagi presiden yang sedang menjabat, mestinya tidak ada lagi elemen relawan. Seharusnya, saat presiden dilantik dan konstestasi pilpres telah usai, relawan dibubarkan. Presiden yang masih merawat relawannya hanya akan memperpanjang suasana kompetesi, sehingga mengakibatkan polarisasi di tengah masyarakat.

Saat ini, relawan bagi Presiden Jokowi makin kian tidak relevan. Beliau adalah Presiden yang sudah berada dalam masa akhir jabatannya. Alih-alih mengedepankan persatuan bangsa, Jokowi malah memperkeruh persatuan dengan merawat suasana kompetisi.

Oleh karena itu, menjadi sebuah pertanyaan di benak kita semua, apa urgensi dari temu relawan yang dilakukan oleh Jokowi? Jika temu relawan merupakan kepentingan kebangsaan, mengapa kepentingannya sangat partisan? Kalau pun itu merupakan agenda politik pribadi Jokowi, mengapa beliau datang dengan menggunakan lencana kepresidenan?

Sekali lagi, harus tegas dipisahkan antara antara politik kelembagaan Presiden Jokowi dengan politik pribadi Jokowi. Sebagai pribadi, Jokowi berhak menjadi kader salah satu partai. Tetapi, sebagai presiden, Jokowi tidak boleh memihak kepada salah satu calon presiden saja.

Dalam aspek fasilitas, Jokowi berhak memanfaatkan fasilitas negara demi kepentingan politik kebangsaannya. Namun sebaliknya, Jokowi juga tidak boleh menggunakan fasilitas negara guna kepentingan politik pribadinya. Itulah mengapa, istana negara, istana merdeka tidak boleh digunakan sebagai tempat untuk membahas koalisi pemenangan pemilihan umum, termasuk Pilpres 2024. Sebab, agenda demikian merupakan kepentingan politik personal Jokowi, bukan kebangsaan.

Hal tersebut diperkuat dengan tidak diundangnya Partai Nasdem karena telah membentuk koalisi sendiri. Tentu, koalisi yang dimaksud ialah PKS, Partai Demokrat, Nasdem yang mendukung Anies Baswedan sebagai Calon Presiden. Dengan begitu, sesungguhnya Jokowi betul-betul telah memperlihatkan kepada publik bahwa Ia sedang berpolitik partisan, dengan menunjukkan koalisi Ganjar dan Prabowo sebagai preferensi di satu sisi dan koalisi Anies Baswedan sebagai resistensi di sisi lain.

Jokowi Netrallah!

Dengan memahami perbedaan antara politik Jokowi sebagai presiden dengan politik Jokowi sebagai personal, maka harus tegas disampaikan bahwa Jokowi sebagai presiden menjadi wasit yang netral dan adil dalam kompetisi Pilpres 2024. Presiden Jokowi tidak boleh berpolitik partisan, ikut mendiskusikan koalisi, apalagi mengambil peran penting dalam penentuan capres-cawapres Pilpres 2024.

Ketika Presiden Jokowi menggunakan jabatan dan kewenangannya untuk ikut campur dalam kontestasi Pilpres 2024, maka jelas Presiden telah melanggar konstitusi. Sebab, salah satu tugas dan mandat  seorang Presiden adalah melaksanakan dan mewujudkan Pilpres 2024 yang LUBER, Jujur, dan adil.


Oleh: Nabil Muallif, Ketua Umum HMI Komisariat Iqbal Walisongo Semarang 2022-2023

 

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top