Meluruskan Paradigma Barat tentang Al-Qur'an, Sains, dan Logika

0
Oleh: Alwi Husein Al Habib, Kabid PA HMI Cabang Semarang, Presiden Monash Institute Semarang Kabinet Nova, Founder Garut Bangkit Berprestasi

Sudah tidak diragukan lagi, al-Qur’an memang shalih li kulli zaman wa makan. Hal tersebut dapat dilihat dari segi pengembangan tafsir al-Qur’an yang selalu sesuai dengan konteks keadaan umat islam zaman sekarang. Walaupun nash al-Qur’an telah berhenti turun, akan tetapi kegunaannya menyesuaikan dengan zaman. Kecanggihan tekhnologi dan semakin terbukanya ladang pengembangan sains memberikan peluang bagi para mufassir untuk dapat menggali lebih dalam lagi makna-makna al-Qur’an yang ternyata dapat diuji secara ilmiah.

Berbicara tentang sains berarti berbicara tentang kosmos. Kosmos dalam pengertian Yunani adalah segala hal yang teratur. Pada tingkatan terbesar seperti jagat raya atau alam semesta dinamakan dengan makro kosmos. Sedangkan tingkatan terkecil seperti sub-atomik atau bahkan metafisik dinamakan dengan mikro kosmos. Ilmu yang mempelajari tentang kosmos itu kemudian dinamakan dengan kosmologi.


Sains juga seing diartikan dengan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan pengetahuan yang hanya maklumat dasar seseorang menjadi tahu tentang sesuatu, ilmu pengetahuan seringkali diartikan kumpulan pengetahuan yang bersistem. Seseorang yang menekuni bidang ilmu pengetahuan disebut dengan saintis.


Sudah mengkristal paradigma masyarakat tentang anggapan bahwa agama dan sains adalah dua entitas yang berbeda. Keduanya dianggap memiliki wilayahnya sendiri-sendiri baik dari objek material, penelitian, maupun status teori masung-masing. Hal tersebut terjadi akibat Renaissance Barat.

Ketika sains di perkenalkan lewat imperialisme Barat, terjadilah dikotomi yang luar biasa antara sains dan agama. Barat menganggap bangsa Timur (khususnya Timur tengah, kawasan mayoritas agama islam) sebagai masyarakat yang mengedepankan mitos. Karena bagi mereka, ilmu pengetahuan mesti materialistik. Sedangkan islam dianggap sebagai bangsa yang tidak rasional atau tidak berlogika (pseudo-ilmiah).

Bagi muslim, islam adalah agama yang sangat rasional. Teks-teks al-Qur’an dapat dikaji secara ilmiah berkisar 81 persen. Sedangkan sisanya adalah sesuatu diluar nalar manusia yang belum mampu dijelaskan secara ilmiah sebab belum ada kecanggihan tekhnologi yang mampu menguak tabir-tabir itu seperti adanya kiamat, adanya neraka, dan adanya surga.

Lalu, mengapa pada akhirnya seolah olah terdapat dua sains, Sains Barat dan Sains Islam?. Padahal keduanya bersumber dari satu sumber yang sama yaitu Tuhan yang Maha Kuasa. Hanya saja pada “sains Barat”, menghilangkan peran-peran ke-Tuhanan itu sendiri.


Bila dikaji dengan menggunakan epistemologi, kita akan mengetahui ilmu pengetahuan dalam bahasa Yunani disebut dengan logos. Maka muncul istilah ilmu tentang kehidupan yang dinamakan bio-logos (biologi), ilmu tentang struktur alam semesta dinamakan kosmos-logos (kosmologi), ilmu tentang interaksi antar mahkluk hidup dinamakan dengan oikos-logos (ekologi), dan lain sebagainya.

Logos juga dalam bahasa Kristologi Yunani diartikan firman. Sebuah nama atau gelar yang dicanangkan kepada Yesus Kristus. Maka tidaklah heran jika umat kristiani percaya bahwa Yesus adalah firman Tuhan yang mendarah dan mendaging. Atau dalam kepercayaan mereka dinamakan “reinkarnasi”. Pertanyaannya, bagaimana muslim menyikapi hal tersebut?


Al-Qu’an menyatakan Nabi Isa A.S adalah kalimat Allah atau Kalam Allah (3: 39, 4: 171). Namun sedikit berbeda dengan injil yang menyatakan bahwa Yesus adalah Allah itu sendiri (Yohanes 1: 1). Sebab di dalam al-Qur’an, Nabi Isa hanyalah kalam Allah, bukan Allah. Dan kalam Allah memanglah sesuai dengan arti Firman Allah (wahyu). Maka dapat ditarik kesimpulan, Nabi Isa adalah orang yang diberi Wahyu. Yang tadinya bukan hasil pencampuran dua sperma, akan tetapi roh Allah lah yang langsung ditiupkan kepada Maryam sehingga ia menjadi darah dan daging tanpa proses pembuahan.

Point penting yang perlu disadari adalah bahwa ternyata ilmu pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang murni dari Allah. Sesuatu yang berlandaskan pada pewahyuan. Sehingga kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya sains itu tidak bisa dipisahkan dari agama, terutama agama islam yang memiliki bukti kebenaran (al-Qur’an). Sains itu adalah sesuatu yang harus dilandaskan pada wahyu. Dan selamanya antara sains dan wahyu (al-Qur’an) itu tidak akan pernah bertentangan. Jikalaupun bertentangan, maka pasti yang salah adalah teori sains itu sendiri. Sampailah nanti di suatu masa, teori yang tadinya bertentangan itu akan terpatahkan atau diluruskan. Sebab teori akan tetap berlaku selama belum ada teori lain yang kuat yang dapat mematahkan teori tersebut.

Tidak hanya ilmu pengetahuan, logika pun demikian. Karena logika pun berasal dari kata Yunani “logos” maka bisa disimpulkan pula bahwa logika haruslah mengacu pada konsep kebenaran Tuhan. Melalui wahyu-Nya, manusia bisa mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang adil dan mana yang zalim. Fungsi logika membantu berfikir secara rasional, lurus, dan koheren. Semuanya akan menjadi kacau jika logika dibenturkan dengan hawa nafsu. Maka logika perlu adanya tolak ukur kebenaran, yakni al-Qur’an.


Jika Barat menganggap bangsa Timur Tengah (mayoritas muslim) adalah masyarakat yang tak berlogika, maka mestinya mereka lebih dahulu ditanya tentang tolak ukur kebenaran logika itu sendiri. Apakah logika yang mereka pakai sesuai dengan al-Qur’an atau tidak? Jikalau bertentangan maka muslim wajib menolaknya. Umat islam juga mesti sadar. Semua yang dibutuhkan telah al-Qur’an sediakan. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan tekhnologi bukanlah hal yang mustahil jika umat islam mau berpikir dan mendalaminya. Marilah menciptakan peradaban di mulai dari mendalami al-Qur’an itu sendiri. Wa Allahu a’lamu bi al-shawwab

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top