Sejarah Perkembangan Semantik

0

Penulis: Alwi Husein Al Habib, Mahasiswa Universitas Insan Cita Indonesia (UICI)

Bahasa telah dipelajari selama ribuan tahun, sebagaimana dibuktikan oleh pandangan Plato dan Aristoteles yang berbeda tentang bagaimana bahasa dan benda-benda duniawi berhubungan satu sama lain (pada masa Yunani kuno). Menurut Plato (429–347 SM), bunyi bahasa yang bervariasi semuanya secara implisit menyampaikan berbagai makna yang berbeda. Hubungan antara bentuk kata dan maknanya dalam bahasa, menurut Aristoteles (384–322 SM), bersifat konvensional atau bergantung pada penerimaan pengguna bahasa. Dia memisahkan arti kata menjadi dua bagian. Pertama, makna mendasar yang diturunkan dari kata itu sendiri, dan kemudian makna yang diturunkan dari hubungan semantik.

Filsuf Jerman C. Chr. Reisig mengajukan teori tata bahasa baru pada tahun 1825 yang memiliki tiga komponen dasar: semiologi (studi tentang tanda), sintaksis (studi tentang struktur kalimat), dan etimologi (studi tentang asal kata dalam kaitannya dengan perubahan bentuk dan makna). Perkembangan semantik dapat dipecah menjadi tiga fase pertumbuhan, menurut teori Reisig.

Fase pertama mencakup aktivitas Reisig selama periode lima puluh tahun (mulai tahun 1823). Periode The Underground Period of Semantics (Semantik Bawah Tanah) adalah nama yang diberikan untuk era ini. Gagasan Reisig didukung dan disetujui oleh kenalan Jermannya karena tampaknya merupakan reaksi terhadap "kolonisasi" filologis pada saat itu. Klasikisme Jerman seringkali satu-satunya yang mengadopsi cara berpikir baru ini. Dalam hal ini, pemikiran itu kemudian dibukukan setelah Reisig dan temannya F. Hasse wafat. Bahkan buku yang diterbitkan mencapai dua buah buku.
Fase kedua dimulai pada tahun 1880-an dan berlangsung hingga lima puluh tahun berikutnya. Tahapan ini ditandai dengan terbitnya jurnal klasik M. Breal. Premis bahwa semantik hanyalah ilmu sejarah dijelaskan dalam publikasi itu. Dia terus dikenal karena perspektifnya di fase kedua ini. Akhirnya, saat masih dalam fase ini, M. Breal menulis buku berjudul Essai de Semantique Science des Signification, yang kemudian diterjemahkan menjadi Semantics: Studies in the Science of Meaning ke dalam bahasa inggris. Semantik semata-mata ditonjolkan sebagai ilmu tentang makna dalam karya ini.

Dekade abad XX merupakan fase ketiga. Penerbitan karya Gustaf Stern, Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language, oleh seorang filolog Swedia, menandai dimulainya fase atau periode waktu ini. Buku yang judul bahasa Indonesianya adalah "makna dan perubahan makna dengan referensi khusus ke bahasa Inggris", memperkenalkan klasifikasi perubahan makna baru yang seluruhnya empiris. Menggunakan studinya sendiri sebagai landasan, konsep tersebut disampaikan secara umum. Stern mencoba untuk menyejajarkan kemajuan semantik dalam hal ini dengan ilmu-ilmu lain.

Semantik diperkenalkan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari makna pada tahun 1897. Hal ini sebagai akibat dari kemunculan Essai de Semantique karya M. Breal. Kemudian Stren melanjutkan usahanya selama beberapa dekade berikutnya. Namun, bahan ajar dan kumpulan kuliah dari seorang mahasiswa bahasa telah diterbitkan sebelum karyanya dibuat. Murid ini adalah orang yang paling mempengaruhi jalannya perkembangan linguistik. Ferdinand Saussure adalah nama muridnya.

Setidaknya dalam dua cara, buku Saussure yang berjudul Cours de Linguistique Generale (kuliah linguistik umum) menyajikan teori baru tentang teori linguistik dan penerapannya: Saussure pertama-tama menolak wawasan sejarah dari abad ke-19 sebelum menyarankan metode linguistik sinkronis dan diakronis. Karena linguistik adalah cabang linguistik yang menitikberatkan pada perkembangan bahasa dari waktu ke waktu, maka penelitian linguistik harus mengambil pendekatan sinkronis. Perkembangan bahasa dan studi historis, keduanya menggunakan metode diakronis. Kedua, linguistik struktural mengambil inspirasinya dari kenyataan bahwa bahasa adalah suatu kesatuan yang ditopang oleh berbagai bagian, yang masing-masing saling berhubungan satu sama lain.

Banyak intelektual Barat memusatkan pemikiran mereka pada studi bahasa setelah Ferdinand de Saussure. Salah satunya adalah buku yang ditulis oleh Edward Sapir berjudul “Introduction to Language for Linguistic Studies” (1921). The Meaning of Meaning adalah judul buku yang ditulis oleh Ogden dan Richards dan dirilis pada tahun 1923. Setelah Edward Sapir, Leonard Bloomfield adalah tokoh terkenal di Amerika yang bukunya Language (1933) sebagian besar dianggap sebagai sumber teori linguistik strukturalis pertama. Pada tahun 1957 M, Noam Chomsky merilis buku debutnya, Syntactic Structures. Sejumlah ahli bahasa Chomsky, termasuk Cauley dan Kiparsky, memisahkan diri dari teori bahasa Chomsky dan mendirikan sekolah mereka sendiri. Aliran semantik generatif adalah nama yang diberikan untuk aliran ini.
McCawley memperingatkan dalam bukunya The Role of Semantic Grammar bahwa kalimat-kalimat yang terisolasi tidak memungkinkan untuk menyelidiki bahasa dengan cermat. Intelektual awal seperti Jacobson, Halle, dan Chomsky berdampak pada Jerold Katz dan Jerry Fodor. Katz dan Kawiq mulai mengintegrasikan semantik ke dalam teori bahasa sejak awal 1960-an. Mereka berusaha memastikan sifat dasar dari bagian semantik model Chomsky dalam buku The Structure of Semantic Theory (1968). Baik indikator tata bahasa dan semantik dibedakan. Namun mereka sedikit berbeda dari Chomsky dalam hal ini.

Selain di Barat, "The Structure of Ethical Terms in the Quran" karya sarjana Jepang Toshihiko Izutsu diterbitkan pada tahun 1959. Izutsu mengkaji gagasan iman dalam teologi Islam dalam bukunya. Karya ini menjadi pantauan dan kajian teks Al-Qur'an oleh para cendekiawan Muslim. Izutsu telah mempelajari membaca teks dari sudut pandang berbasis semantik. Dia menulis beberapa buku tentang masalah ini, termasuk Language and Magic: Studies in the Magical Function of Speech (1956), The Structure of Ethical Terms in the Koran (1959), God and Man in the Koran (1964), dan The Concept of Belief in Islamic Theology (1965). 

Izutsu meneliti ayat-ayat dan sumber lain yang terkait dengan kosa kata yang dihasilkan dalam bahasa Al-Qur'an. Konsep yang diciptakan oleh Izutsu ini secara tidak langsung dianggap sebagai pendekatan penafsiran bil ma′ṡur, khususnya dengan membiarkan “al-Quran berbicara tentang dirinya sendiri” atau pendekatan penafsiran al-qur'an yang dikenal dengan qur’an bil qur’an (penafsiran ayat dengan ayat) yang telah dikembangkan lebih luas dalam studi tafsir.

Al-Asybâh wa al-Nazhâ'ir fi al-Qur'ân al-Karim dan Tafsir Muqatil Ibnu Sulaiman adalah dua karya Muqâtil bin Sulaiman yang hidup di dunia Arab dan wafat pada tahun 150 H atau 767 M, yang dalam kajiannya memanfaatkan semantik. Setiap kata dalam Al-Qur'an, tegasnya, memiliki makna di samping makna aslinya. Selain Muqatil, ada juga Hârun Ibn Mâsa (170/786 M) dalam kitabnya al-Wujâh wa al-Nazhâ'ir fi al-Qur'an al-Karîm, al-Jâhiz in al-Bayan wa al-Tabyîn dan lain-lain. 

Pakar-pakar dan penulis Al-Qur'an sangat aktif pada paruh pertama abad kedua, membuat kemajuan besar khususnya dalam proses analisis semantik. Selain itu, banyak ulama yang saat itu melakukan pengkajian mendalam terhadap Al-Qur'an telah mengadaptasi teori tafsir yang dikembangkan dalam tradisi Barat, seperti adabî al-ijtimâ'i yang dikembangkan oleh Muhammad 'Abduh, metode linguistik ala Zamakhsari yang dikembangkan oleh Amîn al-Khûlî, metode kontekstual yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman, metode antropologis yang dikembangkan oleh M. Arkoun, dan analisis semantik yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu. Ini semua tindakan yang patut diapresiasi.
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top