Mengenal Semantik Al-Qur'an

0
Penulis: Alwi Husein Al Habib, Ketua HMI Cabang Semarang.

Al-Qur'an adalah wahyu ilahi (kalam Allah) yang diterima nabi Muhammad dari Tuhan melalui malaikat Jibril. Islam mendefinisikan wahyu sebagai kalam, atau suara Tuhan, yang mengacu pada Tuhan yang berbicara kepada utusan-utusan-Nya melalui perantara. Fakta bahwa Allah dan hamba-Nya selalu berkomunikasi menunjukkan bahwa Allah adalah komunikator aktif dan hamba adalah komunikator pasif. Ini menyiratkan bahwa kode komunikasi bahasa Arab digunakan oleh umat manusia untuk menerima ayat-ayat (tanda-tanda) Allah.

Bahasa, menurut M. Syahrur, adalah satu-satunya sarana untuk menyampaikan wahyu. Sebelum wahyu menduduki media bahasanya, umat manusia tidak dapat mengakses wahyu Allah melalui panca inderanya. Menurut Abu Zaid, Allah memiliki bahasa khusus untuk setiap penerima saat menurunkan Alquran kepada Nabi. Pilihan bahasa tidak dimulai dalam ruang hampa karena bahasa adalah alat sosial yang paling penting untuk menangkap dan mengatur dunia.

Nasr Hamid Abu Zaid menggambarkan gagasan wahyu sebagai berikut: Pembicara (Allah) mengkomunikasikan konteks pesan melalui perantara (Malaikat Jibril), dan kemudian mengkomunikasikannya kepada penerima (Muhammad) menggunakan kode (bahasa Arab). Al-Qur'an adalah teks bahasa yang dapat dianalisis dengan menggunakan berbagai metodologi bahasa, seperti langkah dan proses awal semantik. Menurut M. Nur Kholis, salah satu hal yang disepakati peneliti mazhab semantik dalam kajian-kajian saat ini adalah perbedaan antara makna dasar dan makna relasional. Meskipun makna sekitarnya memisahkan istilah dari makna esensialnya, kata itu tetap memiliki makna. Sedangkan makna konotatif merupakan makna relasional. Pada prakteknya, makna relasional amat bergantung pada konteks sekaligus relasi dengan kosakata lainnya dalam suatu kalimat.  

Dalam satu catatan, Ali Ibn Abi Tâlib memberi instruksi kepada Ibnu Abbas untuk menolak kelompok Khawarij karena kurangnya kepatuhan mereka terhadap Al Quran dan ketergantungan pada sunnah. Ali menyarankan agar tidak menggunakan Alquran untuk membantah Khawarij karena sifatnya yang multifaset. Oleh karena itu, diyakini bahwa perkataan 'Ali Bin Abi Tâlib menunjukkan aspek semantik Al-Qur'an. Al-Qur'an dapat dipahami dengan berbagai cara yang memungkinkan adanya konsepsi makna yang beragam, menurut bukti-bukti tertentu. Ali menginstruksikan Ibnu 'Abbas untuk menggunakan hadits dalam perselisihan dengan organisasi Khawarij karena hal ini.

Seperti yang telah ditegaskan, fase pertama kesadaran semantik dalam kajian tafsir Al-Qur'an dimulai dengan munculnya tafsir Muqâtil bin Sulaiman dalam karya tafsirnya al-Asybâh wa al-Nazhâ'ir fi al-Qur'ân al -Karim dan Tafsir Muqatil ibn Sulaymân. Pada titik ini, Muqâtil telah menetapkan perbedaan antara makna fundamental dan makna relasional. Istilah “yaad” merupakan ilustrasi penafsiran Muqâtil dalam situasi ini. Ia menegaskan bahwa ada tiga interpretasi yang berbeda dari kata "yaad" dalam Al-Qur'an. Pertama, bermakna tangan secara fisik sebagai anggota tubuh, (Q.s. al-A′râf [7]: 108). Kedua, bermakna kedermawanan (Q.s. al-Isrâ′ [17]: 29 dan Q.s. al-Mâ′idah [5]: 64). Ketiga, bermakna aktivitas atau perbuatan (Q.s. Yâsîn [36]: 35 dan al-Hajj [22]: 10). Dalam penafsirannya, Muqatil memahami kata yaad yang memiliki arti dasar tangan secara fisik kemudian dipahami secara metafora (masyal) dengan tiga makna yang berbeda.

Al-Farr, Abû'Ubaidah, al-Sijistani, dan al-Zamakhshari adalah beberapa mufassir klasik yang menggunakan pendekatan semantik dalam kajian mereka. Amîn al-Khûlî terus menyempurnakannya setelah pertama kali, dan teorinya kemudian diterapkan oleh ‘ ′isah bint al-Shâti‘ dalam tafsirnya al-Bayân li al Qur'ân al-Karîm. Toshihiko Izutsu mengembangkan gagasan Amîn al-Khûlî ini menjadi teori semantik Al-Qur'an.

Kajian tentang semantik Alquran berkembang pesat berkat kontribusi Toshihiko Izutsu. Fazlur Rahman mengkategorikan karya-karya Izutsu pada kelompok atau kategori ketiga. Karya-karya dalam kategori ketiga ini semuanya mengeksplorasi berbagai bagian Alquran, tetapi tidak semuanya berasal dari Alquran itu sendiri. Fazlur Rahman menegaskan bahwa tulisan Izutsu berbeda dengan karya Barat lainnya yang bias kepentingan.
Izutsu, menurut Luthfi Hamidi, berhasil menemukan atau mengembangkan metode baru dalam menafsirkan Alquran. Siapa pun dapat menggunakan metode ini, apakah mereka seorang sarjana dari Barat atau Timur. Atas karyanya ini, ia kemudian ditempatkan sebagai kontributor pengembangan Bahasa (linguistic function) serta pembangunan dan pengembangan kultur budaya (cultural function).
Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top