2024: Messiah Baru, Butuh Polarisasi?

0
Pesta demokrasi 2024 kian hari makin terasa dekat. Berbagai tokoh yang digadang-gadang menjadi sosok potensial-pun mulai berseliweran di lini masa. Sebut saja Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan serta banyak nama lainnya. Nama-nama tersebut kemudian dicitrakan oleh mereka sendiri ataupun simpatisan sebagai sosok messiah baru yang akan menyelamatkan bangsa dari berbagai macam persoalan, lengkap dengan slogan-slogan loyalistik yang didengungkan.
Percakapan publik soal kehadiran messiah baru ini kurang lengkap rasanya tanpa data dari berbagai lembaga survei. Beberapa waktu lalu misalnya, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengeluarkan hasil survei mereka mengenai elektabilitas kandidat Capres 2024. Hasil survei tersebut memperlihatkan beberapa nama dengan elektabilitas tertinggi, sebut saja nama Ganjar Pranowo diurutan pertama, diikuti Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil serta nama-nama potensial lain diurutan berikutnya.
Meriahnya kontestasi juga diramaikan oleh manuver-manuver yang dilakukan oleh bakal calon yang digadang-gadang. Mulai merapatnya beberapa nama ke partai-partai peserta pemilu serta politik pencitraan yang dilakukan bakal calon menyemarakkan perang narasi dan citra di sosial media. Namun, manuver-manuver politik yang terjadi menimbulkan berbagai permasalahan mendasar yang mengusik keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satunya adalah polarisasi politik yang terjadi.
Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana polarisasi politik yang terjadi pada kontestasi politik tahun 2019. Terpecahnya masyarakat antara kubu pendukung Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi kala itu tentu meninggalkan jejak permasalahan yang masih terasa sampai hari ini. Hal ini menjadi suatu bentuk trauma politik yang ditakutkan menjelang Pilpres 2024. Tentunya tidak ada satu pihakpun yang menginginkan hal serupa terulang kembali. Sebab ia akan menjadi penghambat perkembangan kemajuan bangsa ini di kemudian hari.
Sayangnya, polarisasi politik yang dihasilkan dari proses elektoral menjelma menjadi hal yang sulit untuk dihindari. Bahkan jauh sebelum 2024, polarisasi di akar rumput sudah mulai terlihat. Rivalitas Ganjar VS. Anies adalah bentuk nyata. Belum terang kepastian dua tokoh tersebut akan bertarung di bilik suara atau tidak, akar rumput sudah berseteru mengenai sosok mana yang pantas menjadi messiah baru meneruskan tampuk kepemimpinan yang diampu oleh sosok sederhana dari Tanah Solo.
Lantas apakah polarisasi adalah sebuah keharusan? Bagaimana sosok ideal seorang messiah yang layak memimpin Indonesia 5 tahun ke depan?
Nolan McCarty, seorang ilmuwan politik U.S mendefinisikan polarisasi sebagai keterbelahan masyarakat dalam menanggapi isu-isu politik. Banyak hal yang mendasarinya, mulai dari ideologi, identitas spiritual (agama dan kepercayaan), kedekatan dengan elite atau partai politik, preferensi pemilih serta alasan lainnya yang mungkin saja terjadi. Dalam konteks pesta elektoral, polarisasi merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindarkan. Preferensi pemilih serta alasan-alasan di atas menjadi suatu yang niscaya ada dalam sebuah proses elektoral. Sehingga polarisasi-pun menjadi suatu keniscayaan dalam dinamika elektoral tersebut.
Tiga bakal calon yang memiliki elektabilitas tertinggi menurut banyak lembaga survei sudah bisa dipastikan memiliki basis pendukungnya masing-masing. Upaya para kandidat untuk membangun serta merawat basis masanya dengan sendiri akan menghasilkan polarisasi. Anies Baswedan yang kerap menunjukkan keharmonisannya dengan kalangan Islam Revivalis, Ganjar Pranowo yang membangun kelompok pendukungnya dengan corak marhaenisme serta Prabowo yang merawat basis masanya dengan pendekatan nasionalismenya tentu melahirkan polarisasi yang nyata. Ditambah lagi, corak politik elektoral Indonesia yang masih kental dengan politik identitas, menambah runyam permasalahan polarisasi pada akar rumput.
Keniscayaan ini tentu tidak dapat dihindari begitu saja karena ia menjadi alamiahnya sebuah proses politik. Polarisasi menjadi kebutuhan bagi para bakal calon messiah guna mengamankan basis suara—mencapai kemenangan dan tahta RI 1. Akan tetapi, polarisasi yang dilakukan haruslah memiliki batasan-batasan. Ia harusnya terjadi pada hal-hal yang sifatnya substansi-gagasan saja, tidak menyentuh hal-hal yang sifatnya personal dan identitas primordial seseorang. Selain itu, para aktor laga kontestasi elektoral harus mampu mewujudkan rekonsiliasi hingga akar rumput alih-alih pada tataran elite semata.
Unity Personality ala Cak Nur
Persoalan utama dari polarisasi politik di Indonesia adalah coraknya yang bersifat identitas primordial. Masyarakat terpecah antara kelompok yang mendaku Islam dan yang mendaku dirinya sebagai nasionalis. Sebutan Kadrun dan Cebong menjadi panggilan yang santer terdengar dalam keseharian di lini masa. Kubu Islam menganggap bahwa yang nasionalis adalah kelompok yang lepas dari ajaran Islam. Sementara itu, kelompok nasionalis mencitrakan kubu Islam sebagai entitas yang tidak Pancasilais.
Polarisasi ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi setiap kandidat untuk menyatukan kembali masyarakat yang terpecah akibat proses elektoral yang terjadi. Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subianto atau siapapun itu yang kelak terpilih di 2024 harus memiliki paradigma tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan ini. Mungkin salah satu jawabannya adalah konsep unity personality yang digadang-gadang oleh salah seorang ilmuwan pembaharuan pemikiran Islam, Nurcholish Madijd.
Unity personality sendiri merupakan konsep yang sering kali digunakan Cak Nur dalam tulisan-tulisannya seperti Islam, Doktrin dan Peradaban untuk menggambarkan suatu kondisi keseimbangan dalam berkehidupan. Bahwasanya segala sesuatu yang penting dan berkesinambungan-menguatkan tidak boleh dipisahkan serta merta begitu saja, apalagi terpecah akibat suatu proses politik. Ia harus dimaknai sebagai suatu kesatuan yang apabila dipisahkan akan menjadi penghambat sebuah kemajuan.
Dalam konteks polarisasi politik di Indonesia, keterbelahan kelompok dengan corak agama dengan kelompok nasionalis adalah sesuatu yang fatal. Ia akan menjadi bom waktu yang satu waktu akan meledak dan menghancurkan kemajuan-kemajuan yang telah ada ataupun yang dicita-citakan.
Oleh karena itu, Anies, Ganjar, Prabowo, siapapun itu harus menaruh perhatian yang lebih besar pada hal ini. Mereka seyogianya tidak lagi memanfaatkan keterbelahan yang sifatnya primordial ini sebagai batu loncatan untuk kemenangan. Mereka yang kemudian bertarung untuk menjadi messiah baru harus memiliki paradigma unity ini serta ikut mewujudkannya pada masyarakat yang menjadi basis pemilih mereka. Lantas, siapakah di antara para kandidat yang mampu mewujudkan unity ini serta menggunakan polarisasi yang positif, yakni polarisasi yang bersifat substansi-gagasan alih-alih identitas?

Ditulis oleh: Rahmatullah Yudha Welita, Ketua Umum HMI Feb Undip.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top