Seorang
filsuf asal Jerman bernama Hegelian mengatakan kritik merupakam kegiatan
reflektif diri atas tekanan dan halangan pembentukan diri dari rasio yang
searah. Sedangkan, menurut Marxian, kritik adalah sebuah metode untuk mengubah
keadaan masyarakat menuju keadaan damai.
Kritik
memang sangat dibituhkan dalam kehidupan sehari-hari karena bias dijadikan
sebagai alat untuk memperbaiki keadaan.
Dalam
sistem demokrasi, kritik adalah bagian dari fungsi control yang harus
disampaikan kepada para petinggi atau pejabat yang telah membuat kebijakan atau
keputusan yang dianggap kurang sesuai, menyimpang, bahkan tidak memuaskan
kehidupan masyarakat.
Ujung dari
melakukan kritik dalam sistem demokrasi ini adalah sebagai dasar untuk
mengelola kebijakan dan kekuasaan. Akan tetapi, sering dianggap sebagai hal yang
tidak wajar karena banyak yang menyalahi aturan. Jadi, kritik seperti apa yang
dibutuhkan dalam negara demokrasi ini? Apabila kririk hanya dianggap sebagai
alat berargumen, tombak rusuh, dan hanya formalitas saja, tidak bisa disebut
sebagai nilai untuk mengontrol kekuasaan.
Oleh sebab
itu, dalam melakukan kritik kebijakan pemerintah ii harus disertai dengan
fenomena fakta yang ada dan memang tidak relevan jika terjadi di masyarakat.
Fakta ini juga harus sejalan dengan aturan hukum dan mampu menjadi solusi untuk
memperbaiki keadaan yang ada. Dalam hal ini, Rocky Gerung memberikan perspektif
kalau kritik tidak perlu dipagari tata krama. Menyampaikan kritik kepada
pejabat public yang dibalut dengan sopan santun maupun tata krama hanya akan
menghilangkan makna. Serta dapat menimbulkan manipulasi pesan yang ingin
disampaikan.
Penyampaian
kritik bisa dilakukan di mana saja, dengan siapa saja, dan dalam keadaan apa
saja. Menyampaikan kritik melalui media sosial lebih mudah dijangkau karena
mudah tersebar dan didapatkan. Namun, kritik juga bisa dilakukan melalui media
offline seperti membuat karikatur, forum diskusi, bahkan aksi sebagai salahsatu
kegiatan untuk menyaikan rasa yang diperbolehkan.
Kasus yang
sedang ramai diperdebatkan dan diperbincangkan sekarang ini adalah Bima Yudho,
seorang tik tokers asal Lampung yang mengkritik jalan rusak di Lampung. Video
tersebut berhasil mengundang banyak dukungan dan hujatan dari berbagai pihak.
Selain itu, banyak netizen yang mengapresiasi tindakan Bima serta mampu
mempengaruhi opini publik terhadap kinerja para pejabat Lampung dalam
memperbaiki jalanan yang rusak parah.
Akan
tetapi, banyak juga yang menghujat karena mereka menganggap kata yang Bima
ungkap tidak seharusnya dikeluarkan pada khalayak umum, seperti kata dajal atau
sebutan janda. Kata yang dianggap tidak sopan dan tidak memenuhi tata krama
yang benar dianggap menyalahi kultur budaya Indonesia.
Berbeda
dengan Rian Fahardhi yang mengkritik semua oligarki dengan tata krama atau
sopan santun. Rian tetap menyampaikan keresahan yang dialami dan dirasakan
masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan kalimat yang dia sampaikan
kepada khalayak umum.
Mengkritik
dalam hal ini diartikan sebagai mengkritik kebijakan, bukan mengkritik perilaku
para pejabat pribadi. Kritik menjadi salah atu cara yang dilindungi dalam
menyampaikan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam mengkritisi keadaan
lingkungan ang dianggap merugikan dan tidak sesuai dengan kepentingan umum.
Semua
warga negara secara konstitusional berhak mengkritik setiap kejadian yang
sedang terjadi di negara kita. Akan tetapi, apabila dilihat secara lembaga
idealnya lembaga legislatiflah yang berhak menyampaikan pendapat di depan umum
untuk melakukan dan menegaskan fungsi kontrol terhadap kebijakan para pejabat
karena lembaga ini yang diberi peran untuk mengawasi tindakan-tindakan
pemerintah.
Bima Yudho
dan Rian Fahardhi tidak akan mengekspresikan kritiknya secara kasar atau sopan
melalui TikTokers apabila para anggota dewan menjalankan fungsi pengawasannya
dengan baik dan memberikan alternatif untuk memperbaiki keresahan yang ada pada
masyarakat. Akan tetapi, anggota dewan sepertinya sudah kehilangan daya
paksanya, mereka melakukan dengar pendapat, melakukan reses, menerima aspirasi
rakyat, dsb. Namun kekuatan daya paksanya sangat lemah sehingga tidak bisa
merubah subtansi kebijakan atau memberbaiki kualitas kebijakan yang ada.
Oleh: Dewi Khofifah, Kader HMI Cabang Semarang