Kebanyakan
negara-negara di dunia ini menganut sistem demokrasi. Hal ini dilakukan dengan
berbagai alasan. Salah satunya adalah, mereka menganggap sistem demokrasi
adalah sistem pemerintahan terbaik. Dengan sistem demokrasi, pelaksanaan
ketatanegaraan terasa lebih adil, dengan penerimaan suara rakyat. Banyak
sejarah yang mengtakan bahwa demokrasi adalah sistem yang terbaik. Sebagai
contoh dalam fase Revolusi Prancis pada abad ke-19 muncul frase Liberté,
égalité, fraternité, ou la mort ! yang memiliki arti “Kebebasan, keadilan,
persaudaraan, atau mati!”. Semboyan ini ditujukan sebagai kritik untuk sistem
pemerintahan yang menindas dan mendukung tirani kekuasan.
Demokrasi
dipilih Indonesia sebagai jalan pemerintahan untuk mencapai tujuan dan
cita-cita bangsa Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan suku,
budaya, bahkan bahasa yang ada di Indonesia yang bersifat plural dan
multikultural. Selain itu, demokrasi juga diharapkan dapat menghilangkan
penyakit-penyakit kekuasaan. Seperti halnya korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) yang banyak timbul dari sistem pemerintahan yang bersifat monarki. Oleh
karena itu, sistem demokrasi ini diciptakan sebagai antitesis dan kritik dari
sistem monarki pada masa kerajaan.
Penyelewengan-penyelewengan
kekuasaan dirumuskan oleh Lord Acton (1834-1902) sebagai Power tends to
corrupt, and absolute power corrupt absolutely – kekuasaan cenderung untuk
korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut. Hal ini sangat
mencerminkan kondisi politik di Indonesia pada saat ini.
Memang
yang dimaksud absolute power oleh Lord Acton adalah sistem
monarki yang menjadikan raja atau pemimpin sebagai kekuasaan tertinggi dan
absolut, tapi yang terjadi di negara kita ini cenderung lebih parah lagi,
karena para elit politik kita menjadikan demokrasi yang seharusnya menjadi
sebuah antitesis dari sistem absolute power malah dijadikan sebagai tameng
untuk melakukan berbagai tindak penyimpangan kekuasaan.
Bukan
rahasia lagi, para pemimpin politik kita banyak yang menjadi pengikut corruption
by greed yang merupakan tindak penyimpangan bukan karena kekurangan kebutuhan,
melainkan karena keserakahan dan kecenderungan hidup bermewah-mewahan.
Hal ini
dikarenakan para pemimpin yang terpilih masih jauh dari kualitas pemimpin yang
ideal. Menurut Dr. Mohammad Nasih, seorang pakar ilmu politik Indonesia,
Pemimpin ideal adalah orang yang baik dan memiliki keterampilan khusus untuk
mentransformastikan nilai-nilai kebenaran ke dalam kebijakan politik yang
dibuatnya. Dengan begitu, seorang pemimpin dapat mewujudkan kekuasaan politik
yang menolong. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an bahwa fungsi dari
kekuasaan adalah untuk menolong.
وَقُلْ رَّبِّ
اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ
لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا
Dan
katakanlah (Nabi Muhammad), “Ya Tuhanku, masukkan aku (ke tempat dan keadaan
apa saja) dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar,
dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong. (al-Isra’:
80)
Islam
secara komperhensif juga memberikan pelajaran mengenai politik dan kekuasaan
dengan menceritakan kisah-kisah terbaik (12:3) yang diambil dari kisah-kisah
para nabi dan orang-orang terdahulu sebagai pelajaran bagi umat manusia.
Sebagaimana dalam surah yusuf yang menceritakan bagaimana nabi yusuf diberikan
nikmat oleh Allah Swt sebagai elit politik atau tangan kanan raja.
وَقَالَ الْمَلِكُ
ائْتُوْنِيْ بِهٖٓ اَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِيْۚ فَلَمَّا كَلَّمَهٗ قَالَ اِنَّكَ الْيَوْمَ
لَدَيْنَا مَكِيْنٌ اَمِيْنٌ
قَالَ اجْعَلْنِيْ
عَلٰى خَزَاۤىِٕنِ الْاَرْضِۚ اِنِّيْ حَفِيْظٌ عَلِيْمٌ
Raja
berkata, “Bawalah dia (Yusuf) kepadaku agar aku memilih dia (sebagai orang yang
dekat) kepadaku.” Ketika dia (raja) telah berbicara kepadanya, dia (raja)
berkata, “Sesungguhnya (mulai) hari ini engkau menjadi seorang yang
berkedudukan tinggi di lingkungan kami lagi sangat dipercaya.” Dia (Yusuf)
berkata, “Jadikanlah aku pengelola perbendaharaan negeri (Mesir). Sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) lagi sangat berpengetahuan.”
(yusuf: 54-55).
Karena
kecakapan intelektual, emosional, serta spiritual yang dimiliki Nabi Yusuf,
Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada Nabi Yusuf dengan memberikan kekuasaan.
Tentunya karena ketakwaan Nabi Yusuf, dia menjadikan kekuasaannnya untuk
menolong rakyat Mesir dari paceklik dan kelaparan karena kekeringan yang
terjadi pada masa itu.
Di samping
Nabi Yusuf sebagai contoh ideal seorang pemimpin atau pejabat negara, dalam
al-Qur’an juga disebutkan seorang pemimpin atau bisa disebut fir’aun yang
betindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya, mengadu domba, menindas
rakyatnya, bahkan melakukan pembunuhan secara terang-terangan.
اِنَّ فِرْعَوْنَ
عَلَا فِى الْاَرْضِ وَجَعَلَ اَهْلَهَا شِيَعًا يَّسْتَضْعِفُ طَاۤىِٕفَةً مِّنْهُمْ
يُذَبِّحُ اَبْنَاۤءَهُمْ وَيَسْتَحْيٖ نِسَاۤءَهُمْ ۗاِنَّهٗ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ
Sesungguhnya
Firaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya
berpecah-belah. Dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil). Dia
menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuannya.
Sesungguhnya dia (Firʻaun) termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
(al-Qasas: 4)
Selain
fir’aun dan bala tentaranya, tidak sedikit orang yang telah dianugerahi
kekuasaan, tapi malah menggunakannya untuk keburukan. Atau mereka sudah merasa
melakukan kebaikan, malah sesungguhnya tengah melakukan kejahatan.
وَاِذَا قِيْلَ
لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
Apabila
dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” mereka
menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.”
(al-Baqarah: 11)
Mereka
inilah para pemimpin yang tertipu akan kemewahan dunia. Kekuasaan yang
seharusnya digunakan untuk menolong rakyat malah digunakan sebagai alat
penghimpun harta untuk kepuasan pribadi (abuse of power). Mereka lebih senang
mengikuti hawa nafsu yang mengarahkan kepada keburukan (12:53). Sudah
sepantasnya para pemimpin itu berlaku adil dalam menjalankan kekuasaannya bukan
malah mengikuti hawa nafsu, sebagaimana Nabi Daud yang diperingatkan oleh Allah
Swt.
يٰدَاوٗدُ اِنَّا
جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ
الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ
اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ
(Allah
berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di
bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan
janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Galang Jalaludin, Kabid PTKP HMI Komisariat FITK 2022-2023