Santri: Membudayakan Kritik dan Terbiasa Berfikir

0


Kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari peran perjuangan para santri. Dalam meraih hak bangsa untuk merdeka, mereka ikut serta berjuang dalam event-event penting lahirnya Bangsa Indonesia. Keikutsertaan para santri dalam menegakkan kemerdekaan Indonesia didasarkan pada rasa nasionalisme dan keagamaan bahwa seharusnya tidak ada perbudakan maupun penindasan di muka bumi.

Spirit perjuangan memerdekakan Indonesia oleh para santri seharusnya tidak berhenti hanya disana. Api semangat itu harus tetap berkobar di masa kini dan yang akan datang. Bahkan api itu harus berkobar jauh lebih besar karena yang dihadapi santri masa kini bukanlah berjuang dengan fisik sebagaimana awal meraih kemerdekaan, melainkan dengan kekreatifan dan cara berfikir. Pada kenyataannya santri sebagai manifestasi besar umat Islam telah lama berhenti berfikir. Santri sebagai tonggak generasi umat Islam harus mulai berfikir.

Muhammad Iqbal, sang pembaharu Islam, pada 5 abad yang lalu mengatakan bahwa umat Islam mengalami kemunduran. Hampir pada semua bidang dalam Islam terutama ilmu pengetahuan, sains dan teknologi tertinggal jauh dari Barat. Itu adalah salah satu persoalan yang belum terselesaikan hingga sekarang. Banyak memang, anak-anak muda yang meraih prestasi gemilang hingga kancah internasional, tapi apakah dia seorang santri dan paham mengenai agama? Banyak pula para santri yang meraih kejuaraan, tapi apakah mereka menguasai sains dan teknologi? Padahal Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam mengandung banyak sekali ilmu yang dinamis dan saintifik. Tapi mengapa umatnya seolah mendikotomikan ilmu-ilmu tersebut? Terdapat setidaknya dua hal yang mendasari permalahan ini.

Pertama, fanatisme terhadap golongan tertentu. Rasa fanatisme yang melekat pada diri seseorang membuatnya tidak dapat memandang secara objektif sebuah masalah. Fanatisme terhadap suatu golongan atau orang tertentu cenderung membuat seseorang agresif dan sensitif terdapat isu-isu krusial yang menyangkut ideologinya. Akibat fanatik tersebut, perpecahan dan perselisihan tidak dapat dielakkan antar dua kubu atau lebih. Itulah yang terjadi didalam Islam sejak dulu hingga sekarang yang tidak mencitrakan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Islam terpecah menjadi banyak golongan yang cenderung mempertahankan ideologinya masing-masing. Di Indonesia sendiri terdapat setidaknya dua golongan besar Islam yang sering terjadi persinggungan pendapat. Terlalu sibuk dengan memperhatikan ideologi masing-masing, sehingga membuat umat Islam tidak mempunyai waktu untuk memikirkan kemajuan Islam.

Kedua, umat Islam berhenti berfikir. Faktor yang mendasari permasalahan ini adalah adanya rasa kepuasan umat Islam terhadap warisan kejayaan masa lalu. Sejarah kejayaan peradaban Islam didapatkan setidaknya dari tiga daulah besar yang berkuasa pada masanya yaitu Dinasti Umayyah, Dinasti Abasiyah, dan Dinasti Fatimiyah. Dari ketiga dinasti ini banyak ilmu yang berkembang dengan pesat baik agama maupun sains yang menjadi satu kesatuan terpadu. Sebagai contoh yaitu ilmuan Islam terkenal Ibnu Sina yang di Barat dikenal dengan nama Avicenna. Selain menguasai bidang Kesehatan, bahkan karyanya dijadikan sumber rujukan kedokteran hingga saat ini, Ibnu Sina juga seorang yang ahli al-Qur’an dan filsafat Islam.

Ibnu Sina merupakan salah satu yang patut dijadikan contoh oleh para santri saat ini. Pesantren yang merupakan lingkup hidup para santri masih memperlihatkan rasa kepuasaan terhadap warisan. Indikasinya adalah belum ada perkembangan yang signifikan terhadap khazanah keilmuan Islam baik agama maupun sains. Ambillah contoh dalam dunia tafsir, para santri cenderung hanya belajar dari kitab-kitab ulama terdahulu tanpa adanya kritik dan kontruksi pemaknaan.

Budaya kritik mengkritik adalah hal yang tabu di lingkup pesantren. Kritik yang seharusnya dilakukan oleh para santri dianggap sebagai su’ul adab (adab yang buruk) sehingga mereka tidak berani melakukannya karena takut akan mendapatkan hal buruk. Padahal kritik sangat dibutuhkan untuk hal yang lebih baik lagi dan maju. Dengan keberanian mengkritik maka, para santri akan berfikir untuk menemukan solusi atau jawaban yang tepat atas suatu persoalan yang ia kritik. Solusi yang dimaksud tentu akan disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga lahirlah pemaknaan baru.

Kitab-kitab tafsir yang menjadi bahan utama kajian para santri perlu dicermati dengan tepat. Banyak pendapat para mufassir yang sudah tidak sesuai dengan zaman. untuk itulah menjadi tugas para santri untuk berani memberikan kritik yang membangun. Memberikan kritik bukan termasuk akhlak yang tidak buruk. Membudayakan kritik justru mengindikasikan bahwa para santri itu berfikir dan menggunakan akalnya. Jika santri memiliki cara berfikir yang tepat bukan tidak mungkin ia akan menguasai keilmuan Islam secara komprehensif dan dapat fokus pada perkembangan sains dan teknologi Islam. Wallahu a’alam.***

Oleh: Utia Lil Afidah, Kader HMI Komisariat IQBAL Walisongo

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top