“Meskipun
lingkungan hidup sudah dituangkan dalam Undang-Undang (UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), tetapi begitu bergaul dengan UU
Perdagangan, Perindustrian, (bahkan) dengan UU Koperasi saja, pasti UU LH akan
kalah dalam praktiknya,” ungkap Jimly Asshidiqie.
Persoalan
hidup merupakan persoalan kebijakan, oleh karena itu persoalan lingkungan
termasuk persoalan politik. Rachmad K. Dwi Susilo menyatakan bahwa membicarakan
politik juga berarti membicarakan kekuasaan (power) dan kewenangan (authority).
Kemudian, membicarakan kedua-duanya akan sangat terkait erat dengan apa yang
disebut sebagai kebijakan (policy). Oleh karena itu persoalan kebijakan di
bidang lingkungan hidup merupakan kebijakan lingkungan hidup atau environmental
policy.
Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia lebih disebabkan oleh kesalahan kebijakan negara daripada ulah tangan rakyat biasa, menurut Chalid Muhammad. Arah kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup itu disebut dengan politik hukum lingkungan. Politik hukum lingkungan merupakan arah kebijakan hukum yang ditetapkan oleh negara atau pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Namun, dalam kenyataannya hukum lingkungan seolah
tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik dengan munculnya berbagai masalah
lingkungan hidup, salah satu penyebab masalah-masalah lingkungan hidup menurut
Muhammad Akib, belum dipahami, dilaksanakan, dan ditegakkannya prinsip dan
norma hukum lingkungan secara komprehensif sesuai dengan politik hukumnya.
Unsur-unsur
kebijakan yang pro lingkungan walaupun telah diamanatkan dalam UUD 1945 dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, namun Pemerintah sering melakukan ketidakadilan
lingkungan hidup (environmental injustice), misalnya, dalam penyelesaian
konflik industri pertambangan. Tuntutan keadilan yang diajukan masyarakat
terhadap industri pertambangan besar, selama ini selalu menemukan jalan buntu.
Permasalahan ini menjadi semakin rumit ketika pemerintah justru menjawab
tuntutan tersebut dengan pernyataan kebijakan dan keluaran kebijakan yang
mengedepankan sikap arogan yang cenderung memihak kepada kepentingan pengusaha
industri pertambangan dan bersandar pada logika investasi, dibanding menanggapi
realitas pemiskinan masyarakat di sekitar tambang.
Kesalahan
pola pikir dan pola tindak manusia dalam menyikapi alam dan mengelola berbagai
energi dan materi yang ada di dalamnya telah membawa tragedi kemanusiaan
terbesar berupa krisis lingkungan berkelanjutan. Semenjak revolusi industri
dengan pabrik-pabrik dan peralatan teknologi masif yang makin pesat berkembang,
eksploitasi dan destruksi pada entitas alam seperti spesies, individu dan
ekosistem terjadi. Hal ini membuat manusia terhenyak dan memunculkan kesadaran
terhadap gerakan-gerakan hijau, dan juga paham etika lingkungan dari sudut
pandang filsafat lingkungan.
Sehubung
dengan krisis ekologi, Indonesia merupakan salah satu negara yang dikhawatirkan
oleh Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed,
mengingat krisis lingkungan dan ketidakbecusan pelaku negara mengelola dan
menjaga sumber daya alam di negeri ini. Bila bangsa ini tidak segera sadar atas
kesalahannya dalam mengelola alam dan dalam memperlakukan lingkungan hidupnya,
peradaban bangsa ini akan segera punah.
Diamond mengemukakan
bahwa satu dari 5 (lima) faktor yang dapat menjadikan manusia dan peradabannya
musnah yaitu kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia. Empat faktor
lainnya yaitu perubahan iklim, musuh, kesalahan dalam menentukan partner usaha
serta tindakan ekonomi dan politik masyarakat dalam menyikapi perubahan.
Beberapa faktor penyebab runtuhnya suatu peradaban bangsa seperti yang
disebutkan di atas sudah menjadi bagian yang melekat begitu lama dalam diri
manusia.
Diamond
mencontohkan kepunahan bangsa Viking Norse di Skandinavia gara-gara secara
tidak sengaja menyebabkan erosi dan penggundulan hutan sehingga menghancurkan
sumber daya mereka. Diamond memasukkan Indonesia, selain Nepal dan Kolombia,
sebagai peradaban yang mungkin sudah dekat dengan keruntuhan.
Ana Alfiana, Mahasiswi Prodi Tasawuf dan Psikoterapi UIN Walisongo Semarang