HMI : Himpunan Mundurnya Islam?

0
Oleh: M. Khusnul Mubaroq

Judul dalam tulisan ini sangat provaktif. Penulis memang sengaja memberi judul yang merangsang agar kader-kader HMI mulai serius melakukan reformasi organisasi sebagai upaya mengembalikan prinsip dasar organisasi yang dijadikan asas yakni Islam. Tulisan ini bagian dari muhassabah, refleksi, otokritik, serta kontemplasi untuk organisasi yag saya cintai. Sebuah organisasi yang menisbatkan Islam sebagai landasan aktivitas organisasi.

Banyak dari kelompok eksternal HMI yang mempertanyakan format keberislaman HMI sebenarnya seperti apa ? Ini pertanyaan dasar yang susah dijawab karena setiap instruktur BPL HMI sendiri mempunyai jawaban berbeda-beda. Namun, satu hal yang perlu disampaikan secara jujur dan tanpa tedeng aling-aling Keberislaman HMI dalam praktik organisatoris lebih sekedar pseudo-islam. pseudo-islam istilah yang penulis konsepsikan untuk mendeskripsikan format keberislaman yang semu. Istilah zaman now halu. Para pengurus, BPL dan kader HMI sendiri menyadari fakta secara organisasional HMI tidak atau sama sekali belum merepresentasikan kultur islam.
Kultur adalah pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Jika merujuk pada definisi tersebut aktivitas HMI sama sekali belum memperlihatkan keseriusan men-tradisi-kan sebuah agama yang haq : Islam. Pengecualian hanya ada ketika penyelenggaran forum-forum perkaderan formal. Setiap penyelenggaran perkaderan formal juga tidak banyak aktivitas yang merepsentasikan kultur keislaman. Jikalau ada maka tidak lebih agar HMI ada ‘kesan’ Islamnya. Apakah implikasi personal kader setelah ber-HMI membawa kader pada eskalasi keislaman yang lebih baik ? Secara fenomenologis tidak sama sekali.

Kultur keislaman HMI sangat minimalis. Amar makruf nahi mungkar tidak dijadikan sebagai perintah mengajak kebaikan karena dianggap membatasi hak pribadi kader. Selain itu pendidikan keislaman dasar seperti fiqih, akhlaq, tauhid, dan sebagainya tidak dijadikan basis kultural organisasi. Ekses negatif dari ‘keringnya’ nuansa Islam di HMI berkontribusi pada kegagalan internalisasi nilai syariat islam yang menjadikan HMI saat ini – mengutip istilah Michael Foucalt – mengalami diskontuinitas sejarah.

Pada tahun 2016 saya mengikuti Latihan Kader-1 HMI Cabang Semarang. Kesan saya sangat positif kala itu sebagai mahasiswa yang masih gandurng terhadap pemikiran filsafat dan pemikiran liberal. Tradisi liberal yang tumbuh sumbur di HMI menjadikan penulis jatuh hati pada HMI. Namun, seiring kematangan intelektual dan spiritual penulis melihat tradisi liberal di HMI lebih memberikan mudharat dripada manfaat. Hal ini setelah penulis mengamati proses transfer of knowledge di HMI bertumpu atau cenderung berlebihan menjadikan rasionalitas sebagai sumber utama pengetahuan yang benar.

Riset saya untuk memahami fenomena liberal di HMI berujung pada kesimpulan adanya tali sejarah masa lalu yang diciptakan oleh tokoh senior HMI seperti Nurcholis Madjid. Kader-kader HMI terlampau ekstrim melihat sosok Cak Nur melalui produk pemikirannya Nilai-Nilai Dasar Perjuangan”(NDP) yang dijadikan dasar ideologis HMI. Premis pemikiran Cak Nur adalah neo-modernisme islam – warisan pemikiran Fazlur Rahman - sebagai upaya reformasi Islam atas kegagalan umat Islam menghadapi fenomena modernitas.

Cak Nur sendiri sejauh pembacaan penulis atas karya literasinya merupakan sosok kritis-modernis namun juga naif alih alih progresif. Cak Nur sosok yang dominan menolak islam tradisional an sich sehingga kritiknya bukan didasarkan atas beberapa hal dalam islam masa lalu yang tidak sesuai zaman melainkan lebih sebuah sikap antipati. Karya Cak Nur Bilik-Bilik Pesantren wujud sikap antipati Cak Nur karena tulisanya dalam buku tersebut sangat bias dan emosional ketimbang sebuah tulisan logis argumentatif. Greg Barton, tokoh orientalis dari Australia, dalam penelitiannya tentang Gerakan islam liberal di Indonesia dipelopori oleh 4 tokoh utama : Cak Nur, Gus Dur, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib. Tiga dari yang disebutkan Greg Barton adalah tokoh besar HMI.

Kecenderungan HMI meng-kultus-kan rasionalitas adalah bentuk penyimpangan tradisi pemikiran intelektual islam. Mungkin tidak dapat disalahkan jika pada era Cak Nur Islam perlu menyesuaikan konteks zaman modern. Tetapi, Cak Nur lupa filsafat barat sendiri sekarang sudah mengkritik habis-habisan rasionalitas sebagai warisan Era Pencerahan (aufklarung) yang menurut para filsuf post-modern menjadi sumber dari penindasan manusia dengan NAZI sebagai puncak kegagalan bangunan pemikiran filsafat barat. Dalam bahasa sederhana saat ini filsuf barat khususnya para post-modernis atau pos-strukturalis memberikan konklusi rasionalitas tidak dapat membentuk peradaban yang manusiawi. Peperangan, pemanasan global, kejahatan norma hukum, eksploitasi manusia, ketidakbahagiaan lahir dari rahim rasionalitas barat.

Tradisi keilmuan Islam sejauh penelaahan penulis tidak membuang rasio sebagai salah satu sumber pengetahuan (epistemologis) tetapi tidak menempatkan rasio pada posisi tertinggi. Imam Al-Ghazali menegaskan rasio harus tunduk pada hati. Perilaku etis tidak lahir dari konsepsi rasional melainkan dari kejernihan hati. Nabi Muhammad S.A.W juga mengkonfirmasi terkait hati, “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599). Pada konteks ini penulis tidak sepaham dengan Immanuel Kant dan Jeremy Bentham tentang konsepsi rasional-etis.

Menurut Kant setiap orang harus melakukan suatu sikap etis yang bersifat universal. Sebagai contoh jika seseorang ragu apakah bersedekah kepada pengemis tindakan etis atau tidak maka seseorang itu harus mengandaikan jika dia sedekah orang lain akan melakukan tindakan yang sama sehingga menjadi hukum moral bagi semua orang. Kant menyebutnya sebagai deontologis. Pemikiran etis demikian berbeda dengan Jeremy Bentham yang mendasarkan sikap etis pada kemanfaatan mayoritas ( the greates happiness the greatest number) atau dikenal utilitarianisme. Komparasi kedua pemikiran etis-rasional Kant dan Bentham berbeda dengan konsep etis-intuitif Al-qurán dan Hadis. Islam mampu mengurai watak kemanusiaan pada diri manusia secara konkret. Fakta sosialnya seseorang akan bersikap etis bukan karena mengetahui tindakan etis melainkan dorongan intuitif dari hati untuk mendorong tindakan etis. Dorongan hati tersebut dalam dunia tassawuf dikenal ‘’Warid”. Penulis memberikan definisi bebas warid adalah ‘mengalami kondisi batin tertentu yang mengarahkan seseorang bersikap etis’’.Kesimpulan sederhana dari penulis rasionalitas dalam Islam tidak dijadikan sumber pengetahuan primer. Meminjam istilah dari Max Webber, rasionalitas bagi Islam bersifat instrumental. Naifnya, filsafat barat yang bertumpu pada rasio instrumental semata membawa bencana bagi alam semesta sebagaimana isu-isu lingkungan hidup yang sekarang terjadi. Filsafat barat gagal menelaah mendalam tentang filsafat manusia bahwa manusia juga memiliki aspek batin seperti intuisi atau hati. Sikap bias filsafat barat demikian menurut perspektif Islam adalah kafara ( tertutupnya pengetahuan yang benar).

Gambaran konkret kegagalan HMI memahami rasionalitas membawa implikasi panjang bagi kader HMI secara personal dan kultural. Kader HMI sangat rasionalis tapi tidak islamis. Kader HMI mampu mengurai rasionalisasi masalah keislaman tetapi tidak seiring sejalan dengan ketaatan menjalankan syariat. Kecerdasan akal dijadikan standard kualitas kader bukan dari perilaku etis-moral. Setiap forum peralihan kekuasaan kader HMI tidak menunjukan sikap yang merepsentasikan sebagai kader organisasi islam karena keunggulan akhlaq dibawah keunggulan retorika dan logika. Ironisnya, sikap keras menjadi standar kualitas kader. Semakin keras dan semakin ngeyel kader dianggap semakin ter-HMI-sasi. Ketua Cabang yang telah kaffah mengikuti Latihan perkaderan tetap tidak memiliki sensitivitas moral jika ada oposisi yang memberikan kritik atas kinerja yang tidak sesuai konstitusi. Apakah kader tahu moralitas dan sikap etis? Tentu saja sangat mengetahui secara konsepsi. Namun, kultur HMI yang tidak pernah menggarap wilayah dimensi hati menjadikan perilaku etis yang diharapkan dari kader sebagai representasi sikap muslim gagal terwujud.

Sikap reduktif ini disebabkan HMI tidak pernah membentuk kultur transfer of spiritual. Transfer of spiritual dapat dicapai dengan kegiatan-kegiatan yang islami seperti sholawatan, majelis taklim, Semaán al-quran, dan sejenisnya. Sayangnya, kegiatan eksoterik semacam itu diasumsikan dangkal dan peyoratif. Padahal konsepsi Cak Nur atas islam esoterik bagi penulis tidak dapat dijadikan landasan kuat. Islam esoteris tidak akan dicapai tanpa melalui eksternalisasi konkret melalui kegiatan islami. Syariat, hakikat dan makrifat tidak dapat dipisahkan secara parsial. Penulis secara pribadi melihat kader HMI tidak membawa islam esoteris atau hakekat islam melainkan ajaran kebatinan karena rendahnya kesadaran syariat.

Imam Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nashoihul Ibad, sebuah buku tentang moral-tassawuf, menulis pada pasal pertama “dua perkara tidak ada yang lebih utama dari keduanya yaitu : Iman kepada Allah swt dan memberi kemanfaatan kepada orang lain”. Tujuan HMI yang dirumuskan sangat indah di Pasal 4 Anggaran Dasar sebenarnya cerminan dari dua sikap saja : Iman dan memberikan manfaat sosial. Iman adalah dimensi personal dan kemanfataan adalah dimensi sosial. HMI semestinya fokus pada dua dimensi tersebut. Dimensi personal menjadi dimensi fardhu’áin bagi pendidikan kader. Implementasi dari iman adalah perbuatan konkret yang dikemas dalam aktivitas islam-kultural seperti mengaji, mempelajari tafsir Al-quran, memberikan pemahaman teknis ritual (fiqih), pemahaman moralitas ketuhanan (akhlaq-tassawuf), memahami sifat dzat Allah swt (tauhid), internalisasi personalitas nabi ( sholawatan, maulid diba), mengkaji pemikiran islam (majlis taklim), serta segala bentuk aktivitas yang bertujuan ‘memupuk’ rasa keimanan. Iman ini sangat substansial. Iman menjadi basis doktrin untuk mempelajari Al-Qur’an dan Hadis. Tanpa iman tidak ada implikasi konkret bagi kader HMI dalam menghadapi arus kehidupan modern.

Dimensi sosial adalah dampak dari internalisasi dimensi personal (iman) yang baik. Kader HMI yang sudah memiliki dimensi personal akan mendorong untuk melakukan kebaikan sosial apapun peran sosial yang akan dijalaninya di masyarakat. Jika kader HMI akan menjalankan peran profesi maka segala perilaku dalam menjalankan profesi tersebut akan tunduk pada hukum syariat islam dan sunnah. Namun, perilaku sesuai syariat islam hanya akan benar-benar terwujud apabila dimensi personal kader HMI terinternalisasi. Kader tersebut tidak akan melakukan perilaku amoral seperti korupsi, menipu, berkhianat, dan sebagainya apabila dimensi personal sudah terinternalisasi. Mengutip trainer senior NDP, Singkha Songe, sikap-sikap yang sesuai syariat adalah eksternalisasi nilai Islam. Apabila alumni Kader HMI melebur di masyarakat sesuai peran sosial masing-masing diharapkan tercipta sebuah komunitas sosial yang berasaskan islam tanpa harus membangun peradaban islam melalui politik praktis. Pada tahapan ini lah Pasal 4 Anggaran Dasar dapat direalisasikan. Sederhananya, HMI harus secara berkesinambungan untuk melakukan kulturalisasi islam sebagai bentuk implementasi internalisasi dimensi personal dan sosial. Kulturalisasi islam disini secara organisasional bukan personal kader HMI. PB HMI, Cabang sampai komisariat memiliki kewajiban melakukan kulturalisasi islam.

Disisi lain HMI perlu merekonstruksi sumber pengetahuan dari nalar rasio ke nalar irfani. Penulis tidak sepaham dengan Al-Jabbiri yang memberikan format pembaharuan sebagai respon ‘rendah diri’ Islam dengan kebenaran semu modernitas barat. Begitu pula pemikir modernis puritanisme islam lainnya bagi penulis gagal memahami perkembangan tahapan modernitas. Modernitas hari ini hanya meninggalkan lubang kehancuran sebab watak eksploitatif filsafat barat. Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". Modernitas yang dipromosikan barat sebagai puncak tertinggi peradaban manusia dengan kemakmuran material sekarang tidak lebih dari upaya menghancurkan peradaban manusia itu sendiri.

Lebih ironis lagi, modernitas barat adalah kaki-tangan kapitalisme yang berasumsi kesenangan duniawi adalah pencapaian tertinggi. Fakta modernitas tidak lagi humanis, Sayyed Husain Nasr memberikan kesimpulan islam tassawuf adala format keislaman yang mampu memberikan keseimbangan hubungan manusia dengan lingkungan hidup tanpa membawa ekses negatif bagi eksistensi alam. Dalam bahasa paling awam, rasio tidak mampu menumbuhkan kebaikan. HMI perlu mereformulasi paradigma rasio dengan mengganti paradigma Qalb.

Sejatinya masih banyak aspek yang perlu dibahas tentang keislaman HMI. Tulisan pendek ini sebatas memantik tulisan-tulisan lainnya agar lebih serius dan jujur terhadap HMI agar HMI tidak lagi dikenal sebagai organisasi jago aksi demonstrasi atau jago politik praktis tetapi juga dikenal sebagai organisasi yang jago mencetak kader dengan akhlaq-islami yang memberikan rahmat bagi lingkungkan sekitarnya. Wallahualam.

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top