Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan bagian dari masyarakat sipil yang memiliki peran untuk melakukan kontrol dan
pengawasan terhadap setiap kebijakan pemerintah. Hal ini untuk memastikan keberpihakan dari setiap kebijakan pemerintah
terhadap kesejahteraan rakyat. Akhir-akhir
ini, Indonesia sedang menghadapi berbagai persoalan berbangsa dan bernegara
yang kompleks. Setelah pandemic covid-19
yang memporak-porandakan perekonomian nasional berlalu, kini muncul perang
antara Ukraina dan Rusia.
Kenaikan BBM, Kenaikan Tarif Dasar Listrik, dan Berantas Mafia Tambang dan Migas
Konteks global tersebut berpengaruh terhadap kondisi
perekonomian nasional, terutama di sektor energi.
Kenaikan harga minyak mentah dunia
hingga di atas USD 100 per barel berimplikasi
pada membengkaknya beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harus
ditanggung negara dengan
menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang pada tahun 2022 berjumlah Rp. 502 triliun. Angka subsidi yang besar tersebut bahkan
bisa mencapai Rp. 698 triliun jika kuota BBM subsidi yang
ditetapkan sebanyak 23,05 juta liter untuk Pertalite dan 15,1 juta liter untuk Solar akhirnya jebol. Pemerintah Indonesia
masih memberlakukan subsidi kepada tiga jenis BBM, yaitu jenis Pertalite dan Solar Subsidi
serta Pertamax.
Subsidi BBM yang besar tersebut membebani postur APBN sehingga Pemerintah Indonesia berencana
mengurangi beban tersebut
dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan BBM bersubsidi memiliki multiplier effect seperti inflasi yang tinggi, turunnya daya beli
masyarakat dan meningkatnya angka
kemiskinan. Sementara pada sisi lain, terdapat persoalan yang selalu terjadi setiap tahun, yaitu penyaluran BBM
bersubsidi tidak tepat sasaran, dimana orang mampu (kaya) lebih banyak menikmati BBM bersubsidi ketimbang
orang tidak mampu (miskin). Setidaknya 60 persen konsumen yang
menggunakan BBM subsidi adalah kelompok masyarakat menengah atas dengan pemanfaatan BBM subsidi mencapai 80 persen
dari total konsumsi BBM subsidi
(Kompas, 12 Juli 2022). Padahal, BBM subsidi tersebut diperuntukkan untuk
kelompok masyarakat yang tidak mampu
yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 26,16 juta jiwa
per Maret 2022.
Persoalan sektor energi lain adalah kenaikan tarif dasar listrik untuk 5 (lima) golongan pelanggan non-subsidi yaitu golongan R2 dan R3 dengan daya 3.500 Volt Ampere (VA) ke atas serta golongan pemerintah (P1, P2, dan P3) sejak 1 Juli 2022. Kenaikan tarif dasar listrik merupakan imbas dari kekurangan pasokan batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) di sektor ketenagalistrikan. Meskipun kenaikan tarif dasar listrik terjadi pada pelanggan kelas menengah ke atas dan sektor industri, kebijakan ini juga memiliki pengaruh terhadap laju inflasi walaupun terbatas. Di tengah kompleksitas persoalan BBM bersubsidi dan kenaikan tarif listrik tersebut, persoalan lain yang dihadapi Indonesia adalah adanya mafia dalam sektor minyak dan gas (migas) dan tambang. Keberadaan mafia tersebut memperpanjang persoalan energi di Indonesia sehingga sulit untuk mewujudkan swasembada energi di Indonesia.
Tunda Pengesahan
RUUKUHP
Tunda Pengesahan
RKUHP, Benahi Pasal-Pasal bermasalah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia menjadi salah satu
dasar pelaksanaan hukum pidana. KUHP Indonesia
merupakan produk dari parlemen Belanda yang dibuat pada tahun 1800-an.
Di Indonesia, KUHP disahkan dan mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1918.1 Walaupun upaya untuk memperbaharui KUHP sudah dilakukan
sejak tahun 1964 atau pada masa orde lama, pembentukan RKUHP baru mengalami
perkembangan pesat pada masa orde baru, terutama pada masa kepemimpinan menteri kehakiman (sekarang menteri
kehakiman berubah menjadi menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Ismail Saleh, pada tahun 1984 – 1993. Draft RKUHP sebenarnya
sudah rampung pada tahun 1963. Tetapi lanjutan proses pengesahan RKUHP terhenti pada masa kepemimpinan menteri
selanjutnya, Oetojo Oesman, tanpa alasan yang jelas. Dalam era Indonesia merdeka, tradisi akomodasi
oleh hukum pidana formal muncul dalam Undang-
Undang Darurat No. 1/1951 tentang Tindakan- Tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan
Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Sudah 76 tahun Indonesia merdeka, tetapi masih belum ada produk
Kitab Undang-Undang Pidana yang benar-benar hasil karya bangsa Indonesia sendiri. Perkembangan zaman dan
masyarakat pun membuat rumusan hukum
pidana yang termuat dalam KUHP lama menjadi tidak relevan. Maka dari itu,
bangsa Indonesia membutuhkan suatu pondasi hukum pidana baru agar tuntutan
rasa keadilan dari masyarakat dapat terpenuhi. Sumber KUHP
adalah hukum Belanda, Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. KUHP buatan Belanda
merupakan hasil dari pemerintahan kolonial
yang
substansinya tak bisa lepas
dari kepentingan para penjajah. Oleh
karena itu, sebuah gagasan untuk membuat RKUHP yang baru Pembahasan
RKUHP Indonesia sudah dimulai sejak puluhan
tahun yang lalu, lebih tepatnya pada seminar hukum nasional I di
Semarang pada tahun 1963. Rancangan
KUHP yang baru sudah menjadi wacana sejak 50
tahun yang lalu, namun hasilnya tak
kunjung disahkan. Tidak disahkannya RKUHP setelah sekian lama dipicu oleh
polemik yang hadir dari RKUHP itu
sendiri. Pembahasan RKUHP yang sudah berlangsung lebih dari 40 tahun silam kabarnya mengusung beberapa misi. Di
antaranya dekolonialisasi, yang menginginkan
terciptanya suatu KUHP khas Indonesia
tanpa bernuansa kolonial
Belanda. Bukannya menggunakan pendekatan restorative justice,
RKUHP yang baru malah penuh dengan pemidanaan dan dinilai merepresi
kebebasan masyarakat. Dalam konsep RKUHP tahun 2015, model kodifikasi yang dianut tampaknya telah membuka peluang
masih diakuinya pengaturan tindak
pidana yang berada di luar KUHP sesuai dengan Pasal 218 yang menyatakan,
“Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku
juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan
perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang- Undang. Aliansi RKUHP memprediksi model
ini akan memunculkan dilema. RKUHP 2015 membuka
peluang pengaturan hukum pidana di luar KUHP, namun di sisi sebaliknya beberapa tindak pidana yang telah di atur di luar
KUHP dipaksakan masuk dengan adopsi yang tidak
sempurna. Memasukkan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP tidak tepat
karena presiden merupakan jabatan,
sehingga harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Sebagai suatu jabatan, presiden tidak
memiliki fitur moralitas untuk bisa merasa dihina. Maka dari itu, setiap komentar, sentimen, pujian bahkan cibiran
publik kepada presiden adalah bentuk penilaian atas kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Persoalan terkait pantas atau tidaknya cara komunikasi
dalam menyampaikan kritik atas fungsi pemerintahan berada pada wilayah etika, yang didalamnya berlaku
sanksi sosial. Kalaupun penghinaan ditujukan kepada martabat
individu yang menjabat sebagai presiden, hal itu dapat ditindaklanjuti menggunakan pasal penghinaan terhadap individu
atau lewat mekanisme gugatan perdata.
Sudah seharusnya pasal 218 dan 220 dihapus karena kebijakan menghapuskan pasal penghinaan terhadap kepala negara telah
dilakukan di berbagai negara seperti Prancis pada 2013 dan Jerman pada 2017. Tidaklah aneh jika negara lain saja
menghapus pasal ini sedangkan Indonesia
malah menghidupkan kembali pasal yang diyakinkan dapat membungkam masyarakat dan melunturkan demokrasi? Perimbangan
lain dari perumus RKUHP untuk mempertahankan
pasal penghinaan presiden
dan wakil presiden
adalah dengan menyandingkan dengan keberadaan
pasal penghinaan terhadap perwakilan negara sahabat. Namun,
kedua objek yang disandingkan tidak
berada dalam kedudukan yang setara, terutama dalam konteks mandat. Perwakilan
negara sahabat bukanlah pemegang
mandat dari rakyat Indonesia sehingga wajar apabila serangan yang ditujukan kepada representasi kepala
negara sahabat dapat dikonstruksi sebagai hinaan. Berbeda dengan konteks jabatan presiden dan wakil
presiden yang didalamnya terdapat relasi mandat langsung dari publik sebagai pemegang
kedaulatan yang memiliki
hak tagih atas pertanggungjawaban
kinerja para pejabat. Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden menjadi delik aduan tidak menghilangkan risiko
kriminalisasi. Faktanya, kepolisian kerap melakukan tebang pilih dan sulit bersikap proporsional jika yang melapor
merupakan pihak yang memiliki relasi
kuasa sekelas pejabat negara. Maka jika pasal ini tetap ada saat RKUHP
disahkan, dapat disalah tafsirkan
oleh aparat penegak hukum, misalnya seorang presiden yang merasa kritikan terhadap
dirinya itu sebagai penghinaan, lalu melaporkannya
kepada kepolisian, jika dalam perkembangannya polisi tidak menemukan
alasan yang kuat, apakah polisi tidak menindaklanjuti laporan seorang presiden? Sementara polisi adalah bawahan
presiden, sehingga menimbulkan dilema
dan polisi tentunya tidak mungkin
tidak menindaklanjutinya.
Oleh karena itu, perumusan kembali pasal penghinaan
terhadap presiden dan wakil presiden pada dasarnya
hanya akan membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara yang telah dijamin
konstitusi. Maka, sudah sepatutnya RKUHP searah dengan paradigma konstitusi yang menjunjung tinggi HAM dan
demokrasi di Indonesia. Sehingga apabila pasal 218 dan 220 diterapkan maka Indonesia telah mengalami kemerosotan demokrasi. Sepanjang pemerintah belum menunjukan urgensi
pengaturan pasal penghinaan terhadap presiden dan belum
mampu menjamin tidak adanya kriminalisasi terhadap hak kebebasan warga negara,
maka rumusan pasal penghinaan tersebut
haruslah dihapus.
Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM
Komitmen pemerintah akan penuntasan kasus pelanggaran HAM juga perlu disorot. Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR pada Selasa (16/08),
Presiden menyampaikan bahwa dia telah menandatangani Keppres
pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM di masa lalu. Langkah
Presiden Joko Widodo yang mendorong
penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) di masa lalu lewat jalur non-yudisial tentu mengecewakan
banyak pihak. Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab,
mengatakan jika pihaknya
tidak pernah diajak
berdialog dengan pemerintah terkait pembentukan tim
penyelesaian non-yudisial tersebut (BBC, 19 Agustus 2022).
Yang dikhawatirkan dari upaya non-yudisial
ini akan muncul blanket amnesty. Blanket amnesty sendiri merupakan
pemberian ampunan kepada pelaku kejahatan serius tanpa ada pengakuan atas apa yang diperbuat.
Jika ditilik dari segi landasan hukum, Keppres ini tidak
memiliki landasan hukum yang jelas. Sebab,
penuntasan secara non-yudisial tidak dijelaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
maupun UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum
dan HAM Indonesia, Julius Ibrani, mekanisme penuntasan
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dimungkinkan, namun harus ada UU yang menjadi payung hukumnya, yakni UU
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Realitanya, UU ini masih dalam tahap pembahasan di Kementerian Hukum dan HAM.
Walau Deputi V Kepala Staf
Kepresidenan (KSP), Jaleswari Pramodhawardani, menyebut bila upaya pembentukan
tim non-yudisial merupakan
executive measure dari Presiden,
namun timbul trust issue apakah
transparansi, pengungkapan kebenaran, dan pemenuhan keadilan
korban dapat diberikan
(Kompas, 28 Agustus 2022).
Jangan lupa dengan budaya impunitas pada pelanggaran HAM di
Indonesia. Impunitas berasal dari
kata impune yang artinya
“tanpa hukuman”. Dalam KBBI, arti kata
impunitas adalah keadaan tidak dapat dipidana, atau nirpidana.
Dapat dikatakan impunitas adalah sebuah tindakan pidana yang terbebas dari hukuman serta tidak bisa dipidana.
YLBHI mencatat terkait impunitas, setidaknya
terdapat tujuh masalah aparat pengayom masyarakat (baca: kepolisian)
berdasarkan aduan masyarakat: Pertama, kriminalisasi dan minimnya
akuntabilitas penentuan tersangka; Kedua, penundaan
proses (undue delay) atau suatu
urusan yang penyelesaiannya berlarut-larut; Ketiga, mengejar pengakuan
tersangka; Keempat, penangkapan sewenang-wenang; Kelima, penahanan sewenang-wenang, permasalahan akuntabilitas penahanan, dan penahanan
berkepanjangan; Keenam, hak
penasihat hukum yang dibatasi, penyiksaan dan impunitasnya; Ketujuh, pembunuhan di luar proses pengadilan (extra judicial
killing).
Sebagai pengingat, perlu diwujudkan aspek keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dalam mengadili
pelanggar HAM di masa lalu. Tercatat masih ada 12 kasus HAM yang belum tuntas hingga saat ini, meliputi: pembunuhan
Munir, pembunuhan massal 1965, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Tragedi Trisakti 1998, Peristiwa Paniai 2014,
Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa
Wasior dan Wamena 2001, Peristiwa
Rumoh Geudong Aceh 1998, Pembunuhan Dukun Santet Banyuwangi 1998-1999, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, dan
Kerusuhan Mei 1998. Pakar HAM UGM, Herlambang
Wiraratman, dalam diskusi yang digelar Human Rights Law Studies (HRLS)
Unair (17/03/2022) menyebut rumitnya
peradilan kasus-kasus tersebut
mencerminkan kepentingan politik
kekuasaan. “Penggunaan
instrumentasi hukum atau politik digunakan, terkadang secara terang- terangan. Ambil contoh adalah pernyataan
Jaksa Agung ST Burhanuddin bahwa Penembakan Semanggi bukanlah
pelanggaran HAM berat…”
sambungnya. Herlambang menambahkan, “Padahal dalam konteks
pelanggaran HAM berat, korban atau keluarga korban berhak atas kebenaran. Negara wajib memberikan
memberikan detail terkait apa yang terjadi, bagaimana proses penegakan hukumnya, dan siapa pelakunya. Mereka juga
berhak atas untuk mengakses keadilan dan reparasi atas kerugian yang diderita.”
REFORMASI POLRI
Kasus Ferdy Sambo seakan menjadi titik kulminasi dari
keresahan public terhadap institusi POLRI belakangan ini. Sebelum
kasus kematian Brigadir J, Polisi memang sudah menjadi sorotan publik dalam beberapa kasus.
Dimulai dari Tindakan yang cenderung represif terhadap kelompok mahasiswa dan berbagai kelompok mahasiswa dan berbagai
kelompok masyarakat sipil lainya,
hingga sikap dalam merespon kasus. Dalam beberapa peristiwa demonstrasi oleh kelompok mahasiswa yang menolak revisi UU KPK pada 2019, pengesahan UU Cipta Kerja pada tahun 2020 hingga agenda perpanjangan masa jabatan presiden,
polisi cenderung merespons
demonstrasi mahasiswa dengan cara yang kurang humanis
yaitu dengan bentuk kekerasan.
Bahkan saat demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK
pada 2019 di Kendari, terdapat 13 polisi
yang diperiksa karena diduga melakukan penembakan terhadap dua orang mahasiswa
yang berdemonstrasi. Tindakan
represif polisi juga Kembali disorot terkait demonstrasi masyarakat sipil yang terjadi di Desa Wadas,
Purworejo, Jawa Tengah dan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada awal tahun 2022. Di
Desa Wadas polisi menangkap
secara sewenang-wenang sekitar 60
warga sipil menolak penambangan Andesit, sedangkan di Parigi terdapat seorang korban
tewas dari masyarakat sipil berdemonstrasi karena
diduga ditembak polisi.
Terkait respons terhadap
laporan masyarakat, polisi juga seringkali mendapat kritik public
karena dianggap membiarkan
beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa wilayah berbeda, hingga pada akhir 2021 tagar #PercumaLaporPolisi menggema di
media social. Kemudian diikuti kasus-kasus
terkait kesalahan penyidikan dan penangkapan
seperti menjadikan korban begal yang membela
diri sebagai tersangka di Nusa Tenggara
Barat, serta insiden salah tangkap seorang guru
ngaji dituduh sebagai pelaku pembegalan di Bekasi. Fenomena-fenomena terebut terjadi di antara individu, rentang waktu,
dan wilayah yang berbeda, namun respons atau sikap polisi dalam masing-masing fenomena dapat dikatakan serupa. E.B
Taylor menyebutkan bahwa budaya
adalah sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral,
hukum dan tradisi yang diterima oleh
individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Sejalan dengan Taylor, Herskovits seorang antropolog
Amerika mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang turun dan temurun dari suatu generasi ke generasi lain.
Berdasarkan definisi budaya oleh Taylor maupun
Herskovit, maka respon dan sikap polisi yang serupa serta terjadi secara
berulang-ulang sudah memenuhi
syarat untuk kemudian
disebut sebagai cara hidup bersama
atau budaya
institusi, bukan lagi perilaku perorangan atau oknum.
Buruknya budaya polisi dalam fungsi dan tugas menertibkan masyarakat ataupun melakukan
penyelidikan serta penyidikan, sangat mungkin
merupakan dampak dari tidak terlaksananya amanat Reformasi 1998 terhadap
institusi kepolisian. Berbagai
kalangan akhirnya menganggap kasus Ferdy Sambo selain menjadi titik kulminasi keraguan masyarakat terhadap
Polri, juga dapat menjadi titik awal untuk sungguh- sungguh melakukan perbaikan
di tubuh Polri sesuai amanat Reformasi 1998. Kasus Ferdy Sambo,
tidak dapat direspons hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknumyang terlibat, namun juga harus disikapi dengan
evaluasi total terhadap seluruh area
kewenangan, proses rekrutmen
dan Pendidikan, termasuk
pengelolaan anggaran kepolisian. Di sisi lain, tragedy
ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk
berhati- hati dalam pembahasan Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan.
Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai
salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap
seluruh tindak pidana.
Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidikan melalui mandate
undang-undang, menjamin keleluasaan
bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi
seseorang. Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian
Brigadir J menunjukan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi
mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan,
bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu
lalu diketahui, terdapat
beberapa Pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet”
dan dapat menambah
peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang.
Dalam hal ini, semua pihak dapat bersepakat bahwa kekuasaan
atau kewenangan polisi yang cenderung
luas adalah awal dari penyalahgunaan kewenangan yang telah terbukti dilakukan
oleh oknum kepolisian selama ini.
Jika luasnya kewenangan yang dimiliki Polri adalah penyebab dari budaya buruk yang kita saksikan hari ini,
maka pengesahan RKUHP dengan pasal-pasal yang
masih bermasalah akan mengarahkan akumulasi kekuasaan atau power surplus pada institusi Polri. Ada keterkaitannya dengan
pengesahan RKUHP yang dimana bersikukuh untuk disahkan, seharusnya dibenahi dulu implementator yang akan menjalankan
kebijakan sehingga tidak ada kemunduran cara berpikir yang membahayakan demokrasi. Terlebih Presiden, Menkopolhukam
dan beberapa anggota DPR juga secara aktif merespons agar
kasus yang didalangi oleh Ferdy Sambo
segera diusut tuntas. Concern tersebut harus diartikan sebagai wujud pengakuan
Bersama oleh pemerintah eksekutif dan
legislative bahwa ada masalah besar di tubuh Polri, bukan sekedar upaya
untuk menyelamatkan diri dari hantaman
publik yang semakin
ragu pada proses
penegakan hukum di Indonesia. Wacana reformasi Polri harus segera
dilaksanakan dan RKUHP perlu dibahas Kembali,
demi Polri, demi demokrasi dan demi mengembalikan kepercayaan public
kepada penyelenggara negara.
Bersama dengan kajian
ini, maka HMI Menggugat menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak kenaikan
BBM
2.
Menolak kenaikan tarif dasar listrik
3.
Berantas mafia tambang
dan migas
4.
Tunda pengesahan RKUHP dan perbaiki
pasal-pasal yang bermasalah
5.
Tuntaskan kasus pelanggaran HAM
6.
Reformasi POLRI
Sebagai solusi atas tuntutan diatas, maka HMI Menggugat merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan berikut:
1. Memperbaiki
dan memperkuat data kondisi ekonomi rakyat sehingga penyaluran BBM bersubsidi dapat tepat sasaran,
yakni kepada masyarakat kelas menengah ke bawah dan pelaku UMKM;
2. Membatasi
penerima manfaat BBM bersubsidi untuk jenis kendaraan tertentu seperti kendaraan roda dua, angkutan umum, dan
angkutan logistik. Pembatasan BBM bersubsidi ini harus disertai
dengan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi
kebocoran penyaluran BBM bersubsidi ke sektor industri,
pertambangan, dan perkebunan;
3. Mengalokasikan pendapatan yang besar (windfall income) dari kenaikan harga
komoditas sumber daya alam
(SDA) di pasar global seperti batubara dan sawit untuk menambal subsidi
BBM dan listrik;
4. Melakukan realokasi anggaran belanja kementerian / lembaga yang tidak produktif
untuk menopang subsidi
BBM;
5. Mendorong percepatan transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan sebagai solusi ketahanan energi jangka panjang;
6.
Tunda pengesahan KUHP serta perbaiki
pasal-pasal yang bermasalah
7.
Sosialisasikan draft RKUHP kepada segenap
elemen masyarakat
8. Cabut Keputusan Presiden (Keppres) tentang
Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM di masa lalu
9. Melibatkan Lembaga
Swadaya Masyarakat dan pakar dalam penyelesaian kasus
pelanggaran HAM
10. Revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
untuk mencegah abuse of power
dalam keberjalanan POLRI dan
lakukan reformasi secara menyeluruh pada institusi POLRI
REFERENSI
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-62575403
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210909064450-12-691744/munir-dan-daftar-kasus-ha m-yang-belum-tuntas-sampai-hari-ini
https://fh.unair.ac.id/menyingkap-budaya-impunitas-pada-pelanggaran-ham-berat-di-indonesia-d alam-diskusi-hrls/
https://news.detik.com/berita/d-6233763/5-perkembangan-kasus-ferdy-sambo-terbaru
https://hai.grid.id/read/071865617/dua-mahasiswa-meninggal-akibat-kerusuhan-demo-di-depan-
dprd-sulawesi-tenggara
https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-hukum-represif-dari-kasus-wadas-lt6208b9fc4 e70c
https://nasional.tempo.co/read/1567324/kasus-penembakan-di-parigi-moutong-polda-sulteng-per
ketat-penggunaan-senpi
https://www.hops.id/trending/pr-2942115385/tagar-percuma-lapor-polisi-trending-ini-asal-usul-s edih-di-baliknya
Rofiq
Hidayat, “Alasan Pemerintah Pertahankan Pasal Penghinaan Kepala Negara dalam RKUHP”,
hukumonline.com, 9 Juni 2022. https://www.hukumonline.com/berita/a/alasan- pemerintah-pertahankan-pasal-penghinaan-kepala-negara-d alam-rkuhp-lt62a17f49e4d5a. diakses
pada 20 Juni 2022.
Ajie Ramdan,
“Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden Dalam RKUHP”, Jurnal
Yudisial, Vol. 13, No. 2, Agustus 2020, diakses
pada 20 Juni 2022.
Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), “5 Alasan Pasal Penghinaan Presiden Dimasukkan Kembali Ke Dalam RKUHP”, 17 Juni 2021, https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/5-alasan-menolak-pasal-penghinaan-presiden- dimasukkan-kembali-ke -dalam-rkuhp/, diakses pada 20 Juni 2022.
Erwin Prima, “Sejarah Pasal Penghinaan Presiden, Bermula dari Ratu Belanda”, tempo.co, 7 Agustus 2015, https://nasional.tempo.co/read/689870/sejarah-pasal-penghinaan-presiden-bermula-dari-ratu-belanda, diakses pada 20 Juni 2022
Addi M. Idhom, “Isi RKUHP dan Pasal Kontroversial Penyebab Demo Mahasiswa
Meluas”, https://tirto.id/isiruu-kuhp-dan-pasal-kontroversial-penyebab-demo-mahasiswa-meluas-eiFu,
Sudaryono, dkk., “Hukum Pidana
Dasar-Dasar Hukum Pidana
Berdasarkan KUHP dan RKUHP”,
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), Hal. 28.