KAJIAN HMI MENGGUGAT Aliansi HMI se Kota Semarang

0

 


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merupakan bagian dari masyarakat sipil yang memiliki peran untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap setiap kebijakan pemerintah. Hal ini untuk memastikan keberpihakan dari setiap kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat. Akhir-akhir ini, Indonesia sedang menghadapi berbagai persoalan berbangsa dan bernegara yang kompleks. Setelah pandemic covid-19 yang memporak-porandakan perekonomian nasional berlalu, kini muncul perang antara Ukraina dan Rusia.

Kenaikan BBM, Kenaikan Tarif Dasar Listrik, dan Berantas Mafia Tambang dan Migas

Konteks global tersebut berpengaruh terhadap kondisi perekonomian nasional, terutama di sektor energi. Kenaikan harga minyak mentah dunia hingga di atas USD 100 per barel berimplikasi pada membengkaknya beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harus ditanggung negara dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang pada tahun 2022 berjumlah Rp. 502 triliun. Angka subsidi yang besar tersebut bahkan bisa mencapai Rp. 698 triliun jika kuota BBM subsidi yang ditetapkan sebanyak 23,05 juta liter untuk Pertalite dan 15,1 juta liter untuk Solar akhirnya jebol. Pemerintah Indonesia masih memberlakukan subsidi kepada tiga jenis BBM, yaitu jenis Pertalite dan Solar Subsidi serta Pertamax.

Subsidi BBM yang besar tersebut membebani postur APBN sehingga Pemerintah Indonesia berencana mengurangi beban tersebut dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan BBM bersubsidi memiliki multiplier effect seperti inflasi yang tinggi, turunnya daya beli masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan. Sementara pada sisi lain, terdapat persoalan yang selalu terjadi setiap tahun, yaitu penyaluran BBM bersubsidi tidak tepat sasaran, dimana orang mampu (kaya) lebih banyak menikmati BBM bersubsidi ketimbang orang tidak mampu (miskin). Setidaknya 60 persen konsumen yang menggunakan BBM subsidi adalah kelompok masyarakat menengah atas dengan pemanfaatan BBM subsidi mencapai 80 persen dari total konsumsi BBM subsidi (Kompas, 12 Juli 2022). Padahal, BBM subsidi tersebut diperuntukkan untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 26,16 juta jiwa per Maret 2022.


Persoalan sektor energi lain adalah kenaikan tarif dasar listrik untuk 5 (lima) golongan pelanggan non-subsidi yaitu golongan R2 dan R3 dengan daya 3.500 Volt Ampere (VA) ke atas serta golongan pemerintah (P1, P2, dan P3) sejak 1 Juli 2022. Kenaikan tarif dasar listrik merupakan imbas dari kekurangan pasokan batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) di sektor ketenagalistrikan. Meskipun kenaikan tarif dasar listrik terjadi pada pelanggan kelas menengah ke atas dan sektor industri, kebijakan ini juga memiliki pengaruh terhadap laju inflasi walaupun terbatas. Di tengah kompleksitas persoalan BBM bersubsidi dan kenaikan tarif listrik tersebut, persoalan lain yang dihadapi Indonesia adalah adanya mafia dalam sektor minyak dan gas (migas) dan tambang. Keberadaan mafia tersebut memperpanjang persoalan energi di Indonesia sehingga sulit untuk mewujudkan swasembada energi di Indonesia.

Tunda Pengesahan RUUKUHP

Tunda Pengesahan RKUHP, Benahi Pasal-Pasal bermasalah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia menjadi salah satu dasar pelaksanaan hukum pidana. KUHP Indonesia merupakan produk dari parlemen Belanda yang dibuat pada tahun 1800-an. Di Indonesia, KUHP disahkan dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918.1 Walaupun upaya untuk memperbaharui KUHP sudah dilakukan sejak tahun 1964 atau pada masa orde lama, pembentukan RKUHP baru mengalami perkembangan pesat pada masa orde baru, terutama pada masa kepemimpinan menteri kehakiman (sekarang menteri kehakiman berubah menjadi menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Ismail Saleh, pada tahun 1984 1993. Draft RKUHP sebenarnya sudah rampung pada tahun 1963. Tetapi lanjutan proses pengesahan RKUHP terhenti pada masa kepemimpinan menteri selanjutnya, Oetojo Oesman, tanpa alasan yang jelas. Dalam era Indonesia merdeka, tradisi akomodasi oleh hukum pidana formal muncul dalam Undang- Undang Darurat No. 1/1951 tentang Tindakan- Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Sudah 76 tahun Indonesia merdeka, tetapi masih belum ada produk Kitab Undang-Undang Pidana yang benar-benar hasil karya bangsa Indonesia sendiri. Perkembangan zaman dan masyarakat pun membuat rumusan hukum pidana yang termuat dalam KUHP lama menjadi tidak relevan. Maka dari itu, bangsa Indonesia membutuhkan suatu pondasi hukum pidana baru agar tuntutan rasa keadilan dari masyarakat dapat terpenuhi. Sumber KUHP adalah hukum Belanda, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. KUHP buatan Belanda merupakan hasil dari pemerintahan kolonial yang


substansinya tak bisa lepas dari kepentingan para penjajah. Oleh karena itu, sebuah gagasan untuk membuat RKUHP yang baru Pembahasan RKUHP Indonesia sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu, lebih tepatnya pada seminar hukum nasional I di Semarang pada tahun 1963. Rancangan KUHP yang baru sudah menjadi wacana sejak 50 tahun yang lalu, namun hasilnya tak kunjung disahkan. Tidak disahkannya RKUHP setelah sekian lama dipicu oleh polemik yang hadir dari RKUHP itu sendiri. Pembahasan RKUHP yang sudah berlangsung lebih dari 40 tahun silam kabarnya mengusung beberapa misi. Di antaranya dekolonialisasi, yang menginginkan terciptanya suatu KUHP khas Indonesia tanpa bernuansa kolonial Belanda. Bukannya menggunakan pendekatan restorative justice, RKUHP yang baru malah penuh dengan pemidanaan dan dinilai merepresi kebebasan masyarakat. Dalam konsep RKUHP tahun 2015, model kodifikasi yang dianut tampaknya telah membuka peluang masih diakuinya pengaturan tindak pidana yang berada di luar KUHP sesuai dengan Pasal 218 yang menyatakan, “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang- Undang. Aliansi RKUHP memprediksi model ini akan memunculkan dilema. RKUHP 2015 membuka peluang pengaturan hukum pidana di luar KUHP, namun di sisi sebaliknya beberapa tindak pidana yang telah di atur di luar KUHP dipaksakan masuk dengan adopsi yang tidak sempurna. Memasukkan pasal penghinaan presiden dalam RKUHP tidak tepat karena presiden merupakan jabatan, sehingga harus dibedakan dengan individu yang mengisi jabatan tersebut. Sebagai suatu jabatan, presiden tidak memiliki fitur moralitas untuk bisa merasa dihina. Maka dari itu, setiap komentar, sentimen, pujian bahkan cibiran publik kepada presiden adalah bentuk penilaian atas kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.

Persoalan terkait pantas atau tidaknya cara komunikasi dalam menyampaikan kritik atas fungsi pemerintahan berada pada wilayah etika, yang didalamnya berlaku sanksi sosial. Kalaupun penghinaan ditujukan kepada martabat individu yang menjabat sebagai presiden, hal itu dapat ditindaklanjuti menggunakan pasal penghinaan terhadap individu atau lewat mekanisme gugatan perdata. Sudah seharusnya pasal 218 dan 220 dihapus karena kebijakan menghapuskan pasal penghinaan terhadap kepala negara telah dilakukan di berbagai negara seperti Prancis pada 2013 dan Jerman pada 2017. Tidaklah aneh jika negara lain saja menghapus pasal ini sedangkan Indonesia malah menghidupkan kembali pasal yang diyakinkan dapat membungkam masyarakat dan melunturkan demokrasi? Perimbangan lain dari perumus RKUHP untuk mempertahankan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden adalah dengan menyandingkan dengan keberadaan


pasal penghinaan terhadap perwakilan negara sahabat. Namun, kedua objek yang disandingkan tidak berada dalam kedudukan yang setara, terutama dalam konteks mandat. Perwakilan negara sahabat bukanlah pemegang mandat dari rakyat Indonesia sehingga wajar apabila serangan yang ditujukan kepada representasi kepala negara sahabat dapat dikonstruksi sebagai hinaan. Berbeda dengan konteks jabatan presiden dan wakil presiden yang didalamnya terdapat relasi mandat langsung dari publik sebagai pemegang kedaulatan yang memiliki hak tagih atas pertanggungjawaban kinerja para pejabat. Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden menjadi delik aduan tidak menghilangkan risiko kriminalisasi. Faktanya, kepolisian kerap melakukan tebang pilih dan sulit bersikap proporsional jika yang melapor merupakan pihak yang memiliki relasi kuasa sekelas pejabat negara. Maka jika pasal ini tetap ada saat RKUHP disahkan, dapat disalah tafsirkan oleh aparat penegak hukum, misalnya seorang presiden yang merasa kritikan terhadap dirinya itu sebagai penghinaan, lalu melaporkannya kepada kepolisian, jika dalam perkembangannya polisi tidak menemukan alasan yang kuat, apakah polisi tidak menindaklanjuti laporan seorang presiden? Sementara polisi adalah bawahan presiden, sehingga menimbulkan dilema dan polisi tentunya tidak mungkin tidak menindaklanjutinya.

Oleh karena itu, perumusan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden pada dasarnya hanya akan membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara yang telah dijamin konstitusi. Maka, sudah sepatutnya RKUHP searah dengan paradigma konstitusi yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi di Indonesia. Sehingga apabila pasal 218 dan 220 diterapkan maka Indonesia telah mengalami kemerosotan demokrasi. Sepanjang pemerintah belum menunjukan urgensi pengaturan pasal penghinaan terhadap presiden dan belum mampu menjamin tidak adanya kriminalisasi terhadap hak kebebasan warga negara, maka rumusan pasal penghinaan tersebut haruslah dihapus.

 

Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM

Komitmen pemerintah akan penuntasan kasus pelanggaran HAM juga perlu disorot. Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR pada Selasa (16/08), Presiden menyampaikan bahwa dia telah menandatangani Keppres pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM di masa lalu. Langkah Presiden Joko Widodo yang mendorong penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu lewat jalur non-yudisial tentu mengecewakan banyak pihak. Komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, mengatakan jika pihaknya tidak pernah diajak berdialog dengan pemerintah terkait pembentukan tim


penyelesaian non-yudisial tersebut (BBC, 19 Agustus 2022). Yang dikhawatirkan dari upaya non-yudisial ini akan muncul blanket amnesty. Blanket amnesty sendiri merupakan pemberian ampunan kepada pelaku kejahatan serius tanpa ada pengakuan atas apa yang diperbuat.

Jika ditilik dari segi landasan hukum, Keppres ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Sebab, penuntasan secara non-yudisial tidak dijelaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) maupun UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani, mekanisme penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dimungkinkan, namun harus ada UU yang menjadi payung hukumnya, yakni UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Realitanya, UU ini masih dalam tahap pembahasan di Kementerian Hukum dan HAM. Walau Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jaleswari Pramodhawardani, menyebut bila upaya pembentukan tim non-yudisial merupakan executive measure dari Presiden, namun timbul trust issue apakah


transparansi, pengungkapan kebenaran, dan pemenuhan keadilan korban dapat diberikan (Kompas, 28 Agustus 2022).

Jangan lupa dengan budaya impunitas pada pelanggaran HAM di Indonesia. Impunitas berasal dari kata impune yang artinya “tanpa hukuman”. Dalam KBBI, arti kata impunitas adalah keadaan tidak dapat dipidana, atau nirpidana. Dapat dikatakan impunitas adalah sebuah tindakan pidana yang terbebas dari hukuman serta tidak bisa dipidana. YLBHI mencatat terkait impunitas, setidaknya terdapat tujuh masalah aparat pengayom masyarakat (baca: kepolisian) berdasarkan aduan masyarakat: Pertama, kriminalisasi dan minimnya akuntabilitas penentuan tersangka; Kedua, penundaan proses (undue delay) atau suatu urusan yang penyelesaiannya berlarut-larut; Ketiga, mengejar pengakuan tersangka; Keempat, penangkapan sewenang-wenang; Kelima, penahanan sewenang-wenang, permasalahan akuntabilitas penahanan, dan penahanan berkepanjangan; Keenam, hak penasihat hukum yang dibatasi, penyiksaan dan impunitasnya; Ketujuh, pembunuhan di luar proses pengadilan (extra judicial killing).

Sebagai pengingat, perlu diwujudkan aspek keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dalam mengadili pelanggar HAM di masa lalu. Tercatat masih ada 12 kasus HAM yang belum tuntas hingga saat ini, meliputi: pembunuhan Munir, pembunuhan massal 1965, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Tragedi Trisakti 1998, Peristiwa Paniai 2014, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001, Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998, Pembunuhan Dukun Santet Banyuwangi 1998-1999, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, dan Kerusuhan Mei 1998. Pakar HAM UGM, Herlambang Wiraratman, dalam diskusi yang digelar Human Rights Law Studies (HRLS) Unair (17/03/2022) menyebut rumitnya peradilan kasus-kasus tersebut mencerminkan kepentingan politik kekuasaan. “Penggunaan instrumentasi hukum atau politik digunakan, terkadang secara terang- terangan. Ambil contoh adalah pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin bahwa Penembakan Semanggi bukanlah pelanggaran HAM berat…” sambungnya. Herlambang menambahkan, Padahal dalam konteks pelanggaran HAM berat, korban atau keluarga korban berhak atas kebenaran. Negara wajib memberikan memberikan detail terkait apa yang terjadi, bagaimana proses penegakan hukumnya, dan siapa pelakunya. Mereka juga berhak atas untuk mengakses keadilan dan reparasi atas kerugian yang diderita.


REFORMASI POLRI

Kasus Ferdy Sambo seakan menjadi titik kulminasi dari keresahan public terhadap institusi POLRI belakangan ini. Sebelum kasus kematian Brigadir J, Polisi memang sudah menjadi sorotan publik dalam beberapa kasus. Dimulai dari Tindakan yang cenderung represif terhadap kelompok mahasiswa dan berbagai kelompok mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil lainya, hingga sikap dalam merespon kasus. Dalam beberapa peristiwa demonstrasi oleh kelompok mahasiswa yang menolak revisi UU KPK pada 2019, pengesahan UU Cipta Kerja pada tahun 2020 hingga agenda perpanjangan masa jabatan presiden, polisi cenderung merespons demonstrasi mahasiswa dengan cara yang kurang humanis yaitu dengan bentuk kekerasan.

Bahkan saat demonstrasi mahasiswa menolak revisi UU KPK pada 2019 di Kendari, terdapat 13 polisi yang diperiksa karena diduga melakukan penembakan terhadap dua orang mahasiswa yang berdemonstrasi. Tindakan represif polisi juga Kembali disorot terkait demonstrasi masyarakat sipil yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah dan di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada awal tahun 2022. Di Desa Wadas polisi menangkap secara sewenang-wenang sekitar 60 warga sipil menolak penambangan Andesit, sedangkan di Parigi terdapat seorang korban tewas dari masyarakat sipil berdemonstrasi karena diduga ditembak polisi.

Terkait respons terhadap laporan masyarakat, polisi juga seringkali mendapat kritik public karena dianggap membiarkan beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa wilayah berbeda, hingga pada akhir 2021 tagar #PercumaLaporPolisi menggema di media social. Kemudian diikuti kasus-kasus terkait kesalahan penyidikan dan penangkapan seperti menjadikan korban begal yang membela diri sebagai tersangka di Nusa Tenggara Barat, serta insiden salah tangkap seorang guru ngaji dituduh sebagai pelaku pembegalan di Bekasi. Fenomena-fenomena terebut terjadi di antara individu, rentang waktu, dan wilayah yang berbeda, namun respons atau sikap polisi dalam masing-masing fenomena dapat dikatakan serupa. E.B Taylor menyebutkan bahwa budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum dan tradisi yang diterima oleh individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Sejalan dengan Taylor, Herskovits seorang antropolog Amerika mendefinisikan budaya sebagai sesuatu yang turun dan temurun dari suatu generasi ke generasi lain. Berdasarkan definisi budaya oleh Taylor maupun Herskovit, maka respon dan sikap polisi yang serupa serta terjadi secara berulang-ulang sudah memenuhi syarat untuk kemudian disebut sebagai cara hidup bersama atau budaya


institusi, bukan lagi perilaku perorangan atau oknum. Buruknya budaya polisi dalam fungsi dan tugas menertibkan masyarakat ataupun melakukan penyelidikan serta penyidikan, sangat mungkin merupakan dampak dari tidak terlaksananya amanat Reformasi 1998 terhadap institusi kepolisian. Berbagai kalangan akhirnya menganggap kasus Ferdy Sambo selain menjadi titik kulminasi keraguan masyarakat terhadap Polri, juga dapat menjadi titik awal untuk sungguh- sungguh melakukan perbaikan di tubuh Polri sesuai amanat Reformasi 1998. Kasus Ferdy Sambo, tidak dapat direspons hanya dengan menemukan motif dan menindak tegas oknumyang terlibat, namun juga harus disikapi dengan evaluasi total terhadap seluruh area kewenangan, proses rekrutmen dan Pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran kepolisian. Di sisi lain, tragedy ini juga harus menyadarkan banyak pihak khususnya pembuat kebijakan untuk berhati- hati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang belakangan selalu menimbulkan kegaduhan.

Dalam penyelenggaraan hukum pidana, polisi berperan sebagai salah satu implementator penegakan hukum yaitu sebagai penyelidik dan penyidik terhadap seluruh tindak pidana. Wewenang yang diberikan kepada polisi sebagai penyidikan melalui mandate undang-undang, menjamin keleluasaan bagi polisi untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri sekalipun dapat mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang. Banyaknya pihak dari berbagai pangkat yang terlibat memanipulasi kematian Brigadir J menunjukan bahwa luasnya kewenangan yang dimiliki polisi mempermudah banyak oknum untuk memanipulasi kasus, melindungi pelaku kejahatan, bahkan melakukan kriminalisasi terhadap korban. Sementara yang beberapa waktu lalu diketahui, terdapat beberapa Pasal dalam RKUHP yang bersifat “karet” dan dapat menambah peluang bagi kepolisian untuk bertindak sewenang-wenang.

Dalam hal ini, semua pihak dapat bersepakat bahwa kekuasaan atau kewenangan polisi yang cenderung luas adalah awal dari penyalahgunaan kewenangan yang telah terbukti dilakukan oleh oknum kepolisian selama ini. Jika luasnya kewenangan yang dimiliki Polri adalah penyebab dari budaya buruk yang kita saksikan hari ini, maka pengesahan RKUHP dengan pasal-pasal yang masih bermasalah akan mengarahkan akumulasi kekuasaan atau power surplus pada institusi Polri. Ada keterkaitannya dengan pengesahan RKUHP yang dimana bersikukuh untuk disahkan, seharusnya dibenahi dulu implementator yang akan menjalankan kebijakan sehingga tidak ada kemunduran cara berpikir yang membahayakan demokrasi. Terlebih Presiden, Menkopolhukam


dan beberapa anggota DPR juga secara aktif merespons agar kasus yang didalangi oleh Ferdy Sambo segera diusut tuntas. Concern tersebut harus diartikan sebagai wujud pengakuan Bersama oleh pemerintah eksekutif dan legislative bahwa ada masalah besar di tubuh Polri, bukan sekedar upaya untuk menyelamatkan diri dari hantaman publik yang semakin ragu pada proses penegakan hukum di Indonesia. Wacana reformasi Polri harus segera dilaksanakan dan RKUHP perlu dibahas Kembali, demi Polri, demi demokrasi dan demi mengembalikan kepercayaan public kepada penyelenggara negara.

Bersama dengan kajian ini, maka HMI Menggugat menyatakan sikap sebagai berikut:

 

1.     Menolak kenaikan BBM

2.     Menolak kenaikan tarif dasar listrik

3.     Berantas mafia tambang dan migas

4.     Tunda pengesahan RKUHP dan perbaiki pasal-pasal yang bermasalah

5.     Tuntaskan kasus pelanggaran HAM

6.     Reformasi POLRI

 

Sebagai solusi atas tuntutan diatas, maka HMI Menggugat merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan berikut:

1.     Memperbaiki dan memperkuat data kondisi ekonomi rakyat sehingga penyaluran BBM bersubsidi dapat tepat sasaran, yakni kepada masyarakat kelas menengah ke bawah dan pelaku UMKM;

2.     Membatasi penerima manfaat BBM bersubsidi untuk jenis kendaraan tertentu seperti kendaraan roda dua, angkutan umum, dan angkutan logistik. Pembatasan BBM bersubsidi ini harus disertai dengan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi kebocoran penyaluran BBM bersubsidi ke sektor industri, pertambangan, dan perkebunan;

3.     Mengalokasikan pendapatan yang besar (windfall income) dari kenaikan harga komoditas sumber daya alam (SDA) di pasar global seperti batubara dan sawit untuk menambal subsidi BBM dan listrik;

4.     Melakukan realokasi anggaran belanja kementerian / lembaga yang tidak produktif untuk menopang subsidi BBM;

5.     Mendorong percepatan transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan sebagai solusi ketahanan energi jangka panjang;

6.     Tunda pengesahan KUHP serta perbaiki pasal-pasal yang bermasalah

7.     Sosialisasikan draft RKUHP kepada segenap elemen masyarakat

8.     Cabut Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM di masa lalu

9.     Melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat dan pakar dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM

10.  Revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian untuk mencegah abuse of power dalam keberjalanan POLRI dan lakukan reformasi secara menyeluruh pada institusi POLRI


 

 

REFERENSI

 

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-62575403

 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210909064450-12-691744/munir-dan-daftar-kasus-ha m-yang-belum-tuntas-sampai-hari-ini

https://fh.unair.ac.id/menyingkap-budaya-impunitas-pada-pelanggaran-ham-berat-di-indonesia-d alam-diskusi-hrls/

https://news.detik.com/berita/d-6233763/5-perkembangan-kasus-ferdy-sambo-terbaru

https://hai.grid.id/read/071865617/dua-mahasiswa-meninggal-akibat-kerusuhan-demo-di-depan- dprd-sulawesi-tenggara

https://www.hukumonline.com/berita/a/mengenal-hukum-represif-dari-kasus-wadas-lt6208b9fc4 e70c

https://nasional.tempo.co/read/1567324/kasus-penembakan-di-parigi-moutong-polda-sulteng-per ketat-penggunaan-senpi

https://www.hops.id/trending/pr-2942115385/tagar-percuma-lapor-polisi-trending-ini-asal-usul-s edih-di-baliknya

Rofiq Hidayat, “Alasan Pemerintah Pertahankan Pasal Penghinaan Kepala Negara dalam RKUHP”, hukumonline.com, 9 Juni 2022. https://www.hukumonline.com/berita/a/alasan- pemerintah-pertahankan-pasal-penghinaan-kepala-negara-d alam-rkuhp-lt62a17f49e4d5a. diakses pada 20 Juni 2022.

Ajie Ramdan, “Kontroversi Delik Penghinaan Presiden/Wakil Presiden Dalam RKUHP”, Jurnal Yudisial, Vol. 13, No. 2, Agustus 2020, diakses pada 20 Juni 2022.

Siaran Pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), “5 Alasan Pasal Penghinaan Presiden Dimasukkan Kembali Ke Dalam RKUHP”, 17 Juni 2021, https://pshk.or.id/publikasi/siaran-pers/5-alasan-menolak-pasal-penghinaan-presiden- dimasukkan-kembali-ke -dalam-rkuhp/, diakses pada 20 Juni 2022.


Erwin Prima, “Sejarah Pasal Penghinaan Presiden, Bermula dari Ratu Belanda”, tempo.co, 7 Agustus 2015, https://nasional.tempo.co/read/689870/sejarah-pasal-penghinaan-presiden-bermula-dari-ratu-belanda, diakses pada 20 Juni 2022

Addi M. Idhom, “Isi RKUHP dan Pasal Kontroversial Penyebab Demo Mahasiswa Meluas”, https://tirto.id/isiruu-kuhp-dan-pasal-kontroversial-penyebab-demo-mahasiswa-meluas-eiFu,

Sudaryono, dkk., “Hukum Pidana Dasar-Dasar Hukum Pidana Berdasarkan KUHP dan RKUHP”, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), Hal. 28.


Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top