Pemuda dan Revolusi Industri 4.0

0



Oleh: Laini Ahsin Ningsih, Kabid Hukum dan HAM HMI Cabang Semarang

Pada tahun 1750-1850 terjadi perubahan besar-besaran dalam bidang pertanian, pertambangan, manufaktur, transportasi, serta teknologi di dunia.

Perubahan tersebut berdampak besar terhadap kondisi sosial, ekonomi, serta budaya di dunia, hal ini dikenal dengan istilah revolusi industri pertama. Menurut Chief Udoji, revolusi industri didefinidikan sebagai tindakan bersanksi yang diorientasikan pada masalah yang berkaitan dengan kehidupan manusia ke depan.

Setelah dua abad berjalan, dengan menggunakan sistem revolusi industri, rata-rata pendapatan perkapita negara-negara di dunia meningkat lebih dari enam kali lipat. Dalam konteks ini, Robert Emersen Lucas juga mengatakan bahwa ini adalah kali pertama standar hidup rakyat biasa mengalami pertumbuhan berkelanjutan.

Berpijak pada agenda revolusi industri tersebut, saat ini Indonesia juga sedang dihadapkan dengan revolusi industri 4.0. Hanya saja, masih banyak agenda rerevolusi industri 4.0 yang belum diaplikasikan oleh indonesia. Indonesia harus mengejar ketertinggalan apalagi Jepang sudah mulai menerapkan revolusi industri 5.0.

Saat Indonesia masih membicarakan masalah kekurangan pangan, negara lain sudah membicarakan tentang teknologi mesin. saat negra lain sudah selesai dalam segala hal, Indonesia masih terus berdebat tanpa ada ujung. Jika Indonesia tidak terus mengejar ketertinggalan mulai dari revolusi industri 1.0 samapai kini memasuki 5.0 maka Indonesia selamanya hanya akan menjadi konsumen produk.

Berdasarkan hitungan statistik Indonesia akan menghadapi demografi antara tahun 2028-2030 mendatang. Pemuda memegang peranan penting pada saat tersebut sebab pada tahun 1928 silam terjadi peristiwa kongres pemuda kedua yang dikenal dengan “sumpah pemuda”. Sembilan tahun mendatang jumlah usia produktif lebih mendominasi jika dibangding jumlah usia non produktif.

Jika diteliti lebih dalam sebenarnya tidak ada masalah yang serius. Demografi justru bisa dikatakan menjadi bunus bagi Bangsa Indonesia. Dengan jumlah usia produktif yang lebih mendominasi Indonesia bisa melakukan langkah-langkah konkret untuk mencapai posisi sebagai salah satu negara maju. Fenomena demografi ini sangat menetukan masa depan Negara Indonesia.

Pemuda tentunya menjadi tulang punggung dalam mewujudkan Indonesia maju. Sembilan tahun mendatang kita akan menjalani kondisi dimana 100 orang pemuda atau usia produktif akan menanggung 44 orang non produktif dengan formasi 70 persen produktif dan 30 persen non produktif.

Kondisi seperti ini tenunya memiliki sisi baik dan sisi buruk. Baik apabila pemuda mampu menaikkan perkembangan ekonomi hingga mereka mampu menaikkan nilai tukar Rupiah. Buruk apabila para pemuda justru tidak mengasah dan mengembangkan potensi serta kesempatan yang terbuka hingga jumlah pengangguran bertambah, ditambah lagi belum adanya kesiapan dari pihak pemerintah.

Negara sepert Korea Selatan dan Singapura pernah pun mengalami bonus demografi. Mereka mendapatkan banyak kuntungan. Salah satunya yakni naiknya produk domestic bruto (PDB). Melalui data United Nation Population Prospect, tahun 1960-2000, besaran kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi Korea Selatan mencapai 13,2 persen sedangkan pertumbuhan PDB mencapai 7,3 persen stiap tahunnya. Sedangkan Singapura, besaran kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 13,6 persen, dan pertumbuhan PDB mencapai 8,2 persen per tahun.

Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025, masalah demografi hanya diebut dalam satu paragraf. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah tidak memikirkan langkah-langkah konkret yang diperlukan untuk menghadapi puncak bonus demografi.

Selain menyusun langkah guna menghadapi demografi pemerintah juga harus tanggap dengan kondisi yang tengah terjadi. Salah satu diantaranya adalah masalah revolusi industry 4.0. era ini ditandai dengan adanya pelimpahan pekerjaan serta pemenuhan kebutuhan manusia dilakukan dengan bantuan mesin canggih. Hal tersebut dianggap lebih efektif dan efisien.

Dalam hal jumlah penduduk dengan pendidikan sarjana, ternyata Indonesia sangat jauh tertinggal jika dibadingkan dengan Negara Malaysia juga Korsel. 75 persen penduduk Malaysia
berpendidikan sarjana, sedangkan Korsel hampir 90 persen. Adapun Indonesia miris sekali, baru menargetkan memiliki 75 persen penduduk berpendidikan sarjana pada tahun 2051.

Kualitas penduduk menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan puncak bonus demografi. Pemerintah harus benar-benar bisa menyiapkan generasi muda yang berkualitas sebelum memasuki tahun 2028-2030. Sehingga ketika peringatan sumpah pemuda keseratus tahun, generasi muda Indonesia sudah siap memanggul beban perjalanan bangsa Indonesia yang menentukan masa mendatang.

Saat ini, kita hidup di era Revolusi Industri 4.0. Era yang diliputi oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence), era serba komputer, era rekayasa genetika, era teknologi nano, mobil otomatis. Inovasi dan perubahan terjadi dalam kecepatan eksponensial dan akan mengakibatkan dampak terhadap ekonomi, pemerintahan, industry, serta politik,
Banjir informasi terjadi dalam berbagai masalah sehingga siapapun dapat dengan mudah berpartisipasi dalam suatu perdebatan. Kesenjangan ekonomipun semaki terlihat sebagaimana Tiongkok pelahan mulai bangun dari tidurnya dan menjadi negara adidaya.

Dengan adanya kemajuan teknologi fiber-optik, pita lebar, prosesor serta gawai/perangkat, booming internet menuju puncak. Dimana puncak tertingginya belum ada yang bisa memperkirakan. Sesuai dengan publikasi yang telah diterbitkan oleh International Telecommunications Union (ITU) pada tahun 2013 bahwa dari 7,1 miliar penduduk dunia sebanyak 39 persen (sekitar 2,8 miliar) menggunakan internet. Bahkan, akses terhadap internet telah dijadikan beberapa negara, seperti Finlandia, sebagai hak dasar mengikuti resolusi PBB pada tahun 2016.

Revolusi keempat merupakan kelanjutan dari penemuan komputer dan teknologi digital yang dimulai pada era 50-an dan ternyata tidak membuat penyelesaian masalah dunia menjadi lebih mudah. Dengan adanya sistim komputerasi, kepintaran buatan, arus informasi yang sangat cepat, analisis data oleh algoritma pada tingkat lanjutan, tidak membuat kita bebas dari masalah klasik seperti kelaparan, eksploitasi oleh negara maju terhadap negara berkembang, akses kesehatan masih rendah.

Tantangan Indonesia kedepan adalah bagaimana pemerintah mampu meramu kebijakan yang bisa mengangkat harkat hidup mayoritas warganya. Terlebih ketika Indonesia berada di tengah perkembangan teknologi. Juga dengan mempertimbangkan aspek demografi dimasa mendatang, terlebih tingkat pendidikan yang mayoritas masih rendah. Pembangunan yang berlandaskan agregat ekonomi hanya membuat yang kaya semakin kaya. Oleh sebab itu pembangunan harus disama ratakan. Wallahu a’lam bi al-shoowaab.

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top