Napak Tilas: Sebuah Refleksi Penyadaran
Bangsaku
Dipertangahan tahun
ini, sungguh tak terasa sudah mendekati sebuah momen bangsa Indonesia terlepas
dari cengkraman sang penguasa Orde Baru. Jikalau dilihat menuju ke-21 tahun
rezim Orde Baru tumbang bukan menjadi waktu yang singkat. Bermulal dari keberjalanan
sistem pemerintahan Indonesia yang tidak berpihak terhadap publik menjadikan
masyarakat terkungkung sehingga nilai-nilai yang dibawa tidak sesuai dengan ide
dan cita-cita demokrasi kita. Ke-otoriteran
pemerintah kala itu mejadi menguasai setiap sisi-sisi yang sangat kuat untuk
mengusai (mendikte) masyarakat harus
tunduk dan patuh terhadap penguasa. Sebuah kejadian yang menyakitkan oleh
penguasa bagi masyarakat katanya sebagai yang
dilayani (raja) terkait hak sebagai masyarakat yang berdemokrasi. Dampak
buruknya bagi masyarakat menjadi tertekan tidak bisa berbuat apapun.
Sejak era reformasi
dimulai tahun 1998 membuat birokrasi menjadi lebih menarik untuk dibicarakan.
Birokrasi selama ini diindikasikan sebagai penghalang tegaknya demokrasi karena
lebih menjadi kekuasaan rezim daripada memuaskan rakyat dalam memberikan pelayanan
publik. Maraknya praktek-praktek KKN, krisis moneter, korupsi dimana-mana,
lahirnya disejajaran birokrat pejabat yang korup, ketidakadilan hukum rezim yang berkuasa selama 32 tahun. Bukan
sebuah waktu yang singkat. Kemunculan permasalahan dan keresahan tersebut,
tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, politik dan hukum, memaksa
masyarakat, mahasiswa dan organ lainnya untuk turun kejalan untuk menjalanakan
ide-ide anak bangsa yang sudah digendakan tepatnya “reformasi” atau “perubahan”
yang luar biasa bisa menumbangkan rezim penguasa. Posisi strategtis direformasi
politik, ekonomi dan hukum. Tuntutan dalam reformasi menuntut kehidupan politik
yang terbuka, transparan, diterapakannya nilai-nilai demokrasi didalamnya.
Jelas, reformasi bukan merupakan suatu sebutan baru kita dengar, bahkan sudah sangat familiar dikalangan anak bangsa saat ini. Permasalahannya, apakah sekarang ini kita masih ingat dan paham dengan betul nilai-nilai dan tujuannya? Ini adalah masalah serius, melihat kondisi tanah air yang carut marut dan berkutat dipermasalhkan yang tidak ada ujungnya ; korupsi, ketidakadilan hukum dan lainnya. Sama halnya dengan jaman dulu, tidak jauh berbeda. Sebuah pertanyaan besar bagi kita semua, apakah agenda reformasi hanya untuk pembangunan sistem, sehingga kita disebut negara yang menjalankan sistem demokrasi, tanpa menyelesaikan problematika yang harus dihilangkan dalam pencapaian ide dan cita-cita tubuh demokrasi ini. Jelas bahwa dalam masa pemerintahan Orde Baru membuahkan tingkat korupsi paling tinggi. Jangan sampai jatuh pada lobang yang sama.
Indonesia Ingin Maju Tapi Masih Berkutat dengan Masalah Korupsi
Birokrasi
pemerintahan diibaratkan sebagai sebuah mesin negara yang akan mengelola dan
membawa kemana negara akan memposisikan sebagai wadah publik dalam menjalankan
fungsi kenegaraan. Birokrasi pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu
fungsi pelayanan, fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintahan umum (Lembaga
Administrasi Negara, 2007). Ketiga fungsi tersebut harus dijalankan dengan baik
agar keberadaan pemerintahan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat
Indonesia. Birokrasi di negara berkembang sangat menentukan keberhasilan
pembangunan. Salah satu masalah terbesar birokrasi di Indonesia adalah korupsi.
Korupsi
merupakan masasalah besar bangsa Indonesia, menunjukkan bahwa rendahnya etika
yang dimiliki oleh pejabat publik dalam menyelenggarakan pemerintahan. Kasus
pemimpin dan politisi yang korupsi memamg tidak terlepas dari pembahasan negara
berkembang. Berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik, tentu menjadi
sebuah ancaman tersendiri dan mengikis kualitas rusaknya kesejahteraaan sosial.
Di
tahun 2018 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik tujuh peringkat ke
posisi 89 dari 180 negara. Korupsi semakin tersebar dan menggurita di birokrasi
daerah maupun pusat, di eksekutif maupun legislatif dan yudikatif, di institusi
negara maupun non-negara. tentu yang akan terkenan dampaknya adalah masyarakat
(publik). Perilaku koruptor kelas kakap di Indonesia menjadi fenomena yang
sangat memalukan. Pejabat amat sangat mudah disuap oleh para koruptor,
birokrat/ pejabat publik bukanlah koruptor. Ia harus menjadi pejabat yang
amanah yang mampu menunjukkan keadilan bagi seluruh rakyat. Dihadapkan dengan
korupsi yang merajala yang menyeret tokoh-tokoh politisi dan pejabat tinggi
sejajaran kementerian, sungguh fenomena yang sangat memalukan!
Kasus korupsi tidak
lagi dipandang sebagai kejahatan elit politik di jajaran pemerintahan pusat,
tapi pemerintah daerah juga tetap terliat dalam kasus korupsi. Kasus korupsi di
jajaran pemerintahan menjadi sebuah anggapan masyarakat merupakan kejadian
biasa atau identik dengan istilah “budaya korupsi” oleh pejabat (birokrasi).
Imajinasi masyarakat tentang pemerintah dan birokrasi belum bergeser dari
mindset klasik tentang birokrasi dan kekuasaan. Tiburzi (2012: 151-152)
menjelaskan bahwa untuk konteks Indonesia, korupsi adalah masalah yang serius,
karena; korupsi mengikis kepercayaan rakyat terhadap orang-orang dilembaga
politik. Korupsi memang tidak mengenal tempat dan waktu.
Sungguh sangat disayangkan
para birokrasi memanfaatkan posisi strategis dalam jabatannya , menyebabkan;
adanya peluang, memperkaya diri sendiri dan sebagai kebutuhan. Korupsi di
Indonesia tidaklah sebuah kebiasaan atau culture
pejabat (birokrasi) tetapi merupakan lemahnya asas pembangunan akuntabilitas dan
transparansi kepada publik.
Penguasa negara-negara berkembang identik dengan banyak menyalahgunakan identitas demokrasi dam menjadikannya sebagai paying hukum yang kuat, sehingga penderitaan publik semakin menjadi-jadi. Sudah banyak kita lihat kasus-kasus yang menimpa birokrasi pemerintahan, para birokrat dan elit politk tidak pandang buluh, tidak tebang pilih, kuantitasnya kecil atau besar untuk menguras kekayaan negara(rakyat).
Tawaran: Pelaksaan Solusi yang Solutif
Secara
fitrahnya, manusia tidak terlepas dari kesalahan, seperti yang teklh dilakukan
para koruptor. Sangat diperlukan sarana perbaikan diri juga perbaikan
regulasi untuk mempersempit runag gerak
dan mencegah perbuatan yang merugikan negara. mengutip ungkapan oleh Lord Acton tentang korupsi “Power tends to corrupt. Absolute power
corrupt absolutely” artinya Artinya, ketika seseorang atau kelompok
mempunyai kekuasaan atau wewenang, dia akan cenderung untuk melakukan korupsi.
Tentu hal demikian yang mestinya dihindari.
Begitu
juga untuk mengindahkan dan mengatasi permasalahan dibutuhkan “reformasi birokrasi”,
bukan hanya reformasi pada tubuh sistem pemerintahan menjadi “demokrasi” tetapi
juga pada diri birokrat. Salah satu langkah pelaksanan reformasi memperkuat;
mekanisme sistem, regulasi dan standar operasioanl pelaksaan (SOP) dalam
melakukan pelayanan kepada publik. Prinsip akuntabilitas dan transparansi harus
dijalankan agar publik tahu sejauh mana birokrasi melaksanakan fungsinya dalam
melaksanakan pelayanan kepada publik. Bisa juga dengan metode lain, lebih
manyadarkan kepada individu. Supremasi hukum yang kuat, tidak asal atau tebang
pilih. Sangat diperlukan wadah dan alat untuk membentuk pribadi seseorang lebih
baik dan berjiwa Anti-Korupsi, seperti: Pendidikan Anti Korupsi, pembekalana
agama yang kuat dan membangun moral yang baik sejak dini.
Sudah sepantasnya para
generasi muda Indonesia melek terhadap sebuah proses politik demokrasi sebagai
bentuk kontribusi yang nyata untuk bansga. Sudah tidak alasan bagi Pemuda
Indonesia untuk turut dan kontribusi berpolitik untuk membangun sebuah bangsa
ini. Sebagai pewaris, penerus dan penjaga jarih payah leluhur memperjuangkan
bangsa ini. Sangat indah rasanya jika publik kemudian mendapatkan cerita bahwa
pejabat kebal dari suap dan tetap berada dalam jalan yang lurus dalam
menjalankan tugasnya.
Referensi:
Budi Setiyono, Muhammad
Adnan dan Lusia Adtrika. 2016. Buku Ajar Perbandingan Gerakan Anti Korupsi
Antara Korea Selatan Dan Indoensia. Semarang. LPPMP UNDIP.
Indihaono, Dwiyatno.
2016. Birokrat(Bukan) Pelayan Koruptor.
Yogyakarta. Gava Media.
Peraturan Lembaga Administrasi Negara
Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama Lembaga
Administrasi negara
https://nasional.tempo.co/read/1170330/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2018-naik-jadi-38-poin/full&view=ok
(Diakses pada sabtu, 06 April 2018)