Dinamika Birokrasi: Secercah Harapan Demokrasi Bangsa Indonesia

0

 


Oleh: Ilham Rosyid Hasibuan
Ketua Umum HMI Cabang Semarang

Napak Tilas: Sebuah Refleksi Penyadaran Bangsaku

Dipertangahan tahun ini, sungguh tak terasa sudah mendekati sebuah momen bangsa Indonesia terlepas dari cengkraman sang penguasa Orde Baru. Jikalau dilihat menuju ke-21 tahun rezim Orde Baru tumbang bukan menjadi waktu yang singkat. Bermulal dari keberjalanan sistem pemerintahan Indonesia yang tidak berpihak terhadap publik menjadikan masyarakat terkungkung sehingga nilai-nilai yang dibawa tidak sesuai dengan ide dan cita-cita demokrasi kita. Ke-otoriteran pemerintah kala itu mejadi menguasai setiap sisi-sisi yang sangat kuat untuk mengusai (mendikte) masyarakat harus tunduk dan patuh terhadap penguasa. Sebuah kejadian yang menyakitkan oleh penguasa bagi masyarakat katanya sebagai yang  dilayani (raja) terkait hak sebagai masyarakat yang berdemokrasi. Dampak buruknya bagi masyarakat menjadi tertekan tidak bisa berbuat apapun.

Sejak era reformasi dimulai tahun 1998 membuat birokrasi menjadi lebih menarik untuk dibicarakan. Birokrasi selama ini diindikasikan sebagai penghalang tegaknya demokrasi karena lebih menjadi kekuasaan rezim daripada memuaskan rakyat dalam memberikan pelayanan publik. Maraknya praktek-praktek KKN, krisis moneter, korupsi dimana-mana, lahirnya disejajaran birokrat pejabat yang korup, ketidakadilan hukum  rezim yang berkuasa selama 32 tahun. Bukan sebuah waktu yang singkat. Kemunculan permasalahan dan keresahan tersebut, tidak terlepas dari kondisi sosial, ekonomi, politik dan hukum, memaksa masyarakat, mahasiswa dan organ lainnya untuk turun kejalan untuk menjalanakan ide-ide anak bangsa yang sudah digendakan tepatnya “reformasi” atau “perubahan” yang luar biasa bisa menumbangkan rezim penguasa. Posisi strategtis direformasi politik, ekonomi dan hukum. Tuntutan dalam reformasi menuntut kehidupan politik yang terbuka, transparan, diterapakannya nilai-nilai demokrasi didalamnya.

Jelas, reformasi bukan merupakan suatu sebutan baru kita dengar, bahkan sudah sangat familiar dikalangan anak bangsa saat ini. Permasalahannya, apakah sekarang ini kita masih ingat dan paham dengan betul nilai-nilai dan tujuannya? Ini adalah masalah serius, melihat kondisi tanah air yang carut marut dan berkutat dipermasalhkan yang tidak ada ujungnya ; korupsi, ketidakadilan hukum dan lainnya. Sama halnya dengan jaman dulu, tidak jauh berbeda. Sebuah pertanyaan besar bagi kita semua, apakah agenda reformasi hanya untuk pembangunan sistem, sehingga kita disebut negara yang menjalankan sistem demokrasi, tanpa menyelesaikan problematika yang harus dihilangkan dalam pencapaian ide dan cita-cita tubuh demokrasi ini. Jelas bahwa dalam masa pemerintahan Orde Baru membuahkan tingkat korupsi paling tinggi. Jangan sampai jatuh pada lobang yang sama. 

Indonesia Ingin Maju Tapi Masih  Berkutat dengan  Masalah Korupsi

Birokrasi pemerintahan diibaratkan sebagai sebuah mesin negara yang akan mengelola dan membawa kemana negara akan memposisikan sebagai wadah publik dalam menjalankan fungsi kenegaraan. Birokrasi pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi pelayanan, fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintahan umum (Lembaga Administrasi Negara, 2007). Ketiga fungsi tersebut harus dijalankan dengan baik agar keberadaan pemerintahan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Birokrasi di negara berkembang sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Salah satu masalah terbesar birokrasi di Indonesia adalah korupsi.

Korupsi merupakan masasalah besar bangsa Indonesia, menunjukkan bahwa rendahnya etika yang dimiliki oleh pejabat publik dalam menyelenggarakan pemerintahan. Kasus pemimpin dan politisi yang korupsi memamg tidak terlepas dari pembahasan negara berkembang. Berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik, tentu menjadi sebuah ancaman tersendiri dan mengikis kualitas rusaknya kesejahteraaan sosial.

Di tahun 2018 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia naik tujuh peringkat ke posisi 89 dari 180 negara. Korupsi semakin tersebar dan menggurita di birokrasi daerah maupun pusat, di eksekutif maupun legislatif dan yudikatif, di institusi negara maupun non-negara. tentu yang akan terkenan dampaknya adalah masyarakat (publik). Perilaku koruptor kelas kakap di Indonesia menjadi fenomena yang sangat memalukan. Pejabat amat sangat mudah disuap oleh para koruptor, birokrat/ pejabat publik bukanlah koruptor. Ia harus menjadi pejabat yang amanah yang mampu menunjukkan keadilan bagi seluruh rakyat. Dihadapkan dengan korupsi yang merajala yang menyeret tokoh-tokoh politisi dan pejabat tinggi sejajaran kementerian, sungguh fenomena yang sangat memalukan!

Kasus korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan elit politik di jajaran pemerintahan pusat, tapi pemerintah daerah juga tetap terliat dalam kasus korupsi. Kasus korupsi di jajaran pemerintahan menjadi sebuah anggapan masyarakat merupakan kejadian biasa atau identik dengan istilah “budaya korupsi” oleh pejabat (birokrasi). Imajinasi masyarakat tentang pemerintah dan birokrasi belum bergeser dari mindset klasik tentang birokrasi dan kekuasaan. Tiburzi (2012: 151-152) menjelaskan bahwa untuk konteks Indonesia, korupsi adalah masalah yang serius, karena; korupsi mengikis kepercayaan rakyat terhadap orang-orang dilembaga politik. Korupsi memang tidak mengenal tempat dan waktu.

Sungguh sangat disayangkan para birokrasi memanfaatkan posisi strategis dalam jabatannya , menyebabkan; adanya peluang, memperkaya diri sendiri dan sebagai kebutuhan. Korupsi di Indonesia tidaklah sebuah kebiasaan atau culture pejabat (birokrasi) tetapi merupakan lemahnya asas pembangunan akuntabilitas dan transparansi kepada publik.

Penguasa negara-negara berkembang identik dengan banyak menyalahgunakan identitas demokrasi dam menjadikannya sebagai paying hukum yang kuat, sehingga penderitaan publik semakin menjadi-jadi. Sudah banyak kita lihat kasus-kasus yang menimpa birokrasi pemerintahan,  para birokrat dan elit politk tidak pandang buluh, tidak tebang pilih, kuantitasnya kecil atau besar untuk menguras kekayaan negara(rakyat). 

Tawaran: Pelaksaan Solusi yang Solutif

            Secara fitrahnya, manusia tidak terlepas dari kesalahan, seperti yang teklh dilakukan para koruptor. Sangat diperlukan sarana perbaikan diri juga perbaikan regulasi  untuk mempersempit runag gerak dan mencegah perbuatan yang merugikan negara. mengutip ungkapan oleh Lord Acton tentang korupsi “Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely” artinya Artinya, ketika seseorang atau kelompok mempunyai kekuasaan atau wewenang, dia akan cenderung untuk melakukan korupsi. Tentu hal demikian yang mestinya dihindari.

            Begitu juga untuk mengindahkan dan mengatasi permasalahan dibutuhkan “reformasi birokrasi”, bukan hanya reformasi pada tubuh sistem pemerintahan menjadi “demokrasi” tetapi juga pada diri birokrat. Salah satu langkah pelaksanan reformasi memperkuat; mekanisme sistem, regulasi dan standar operasioanl pelaksaan (SOP) dalam melakukan pelayanan kepada publik. Prinsip akuntabilitas dan transparansi harus dijalankan agar publik tahu sejauh mana birokrasi melaksanakan fungsinya dalam melaksanakan pelayanan kepada publik. Bisa juga dengan metode lain, lebih manyadarkan kepada individu. Supremasi hukum yang kuat, tidak asal atau tebang pilih. Sangat diperlukan wadah dan alat untuk membentuk pribadi seseorang lebih baik dan berjiwa Anti-Korupsi, seperti: Pendidikan Anti Korupsi, pembekalana agama yang kuat dan membangun moral yang baik sejak dini.

Sudah sepantasnya para generasi muda Indonesia melek terhadap sebuah proses politik demokrasi sebagai bentuk kontribusi yang nyata untuk bansga. Sudah tidak alasan bagi Pemuda Indonesia untuk turut dan kontribusi berpolitik untuk membangun sebuah bangsa ini. Sebagai pewaris, penerus dan penjaga jarih payah leluhur memperjuangkan bangsa ini. Sangat indah rasanya jika publik kemudian mendapatkan cerita bahwa pejabat kebal dari suap dan tetap berada dalam jalan yang lurus dalam menjalankan tugasnya.

 

Referensi:

Budi Setiyono, Muhammad Adnan dan Lusia Adtrika. 2016.  Buku Ajar Perbandingan Gerakan Anti Korupsi Antara Korea Selatan Dan Indoensia. Semarang. LPPMP UNDIP.

Indihaono, Dwiyatno. 2016. Birokrat(Bukan) Pelayan Koruptor. Yogyakarta. Gava Media.

Peraturan Lembaga Administrasi Negara Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama Lembaga Administrasi negara

https://nasional.tempo.co/read/1170330/indeks-persepsi-korupsi-indonesia-2018-naik-jadi-38-poin/full&view=ok (Diakses pada sabtu, 06 April 2018)


Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top