Berketuhanan yang Berkebudayaan

0



Oleh: Ahmad Muntaha, Kabid Media dan Komunikasi HMI Cabang Semarang

Di tengah pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 silam, beliau merekomendasikan lima prinsip dasar sebagai alat persatuan rakyat Indonesia yang bisa diterima oleh semua pihak. Itulah Pancasila sebegai dasar statis serta leitstar dinamis bangsa Indonesia.

Para pensyarah terdahulu dalam sidang BPUPKI lebih mengarah tidak menanggapi langsung pertanyaan mengenai dasar negara. Mereka khawatir bahwa perbincangan tersebut justru akan memaksa mereka terlibat dalam perdebatan yang tak berujung, terutama di kalangan kelompok Islam dan Nasionalis yang pada saat itu menjadi dua kelompok yang mudah berseteru.

Namun, pada akhirnya, semua pihak setuju untuk menjadikan Pancasila sebagai titk temu yang menjadi penyeimbang berbagai elemen agar bisa berdiri bersama dan berdampingan sebegai sebuah bangsa. Sebab, dengan tanpa Pancasila, usaha untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya akan menjadi angan semata.

Menjadi titik temu, Pancasila memiliki pandangan yang pada dasarnya telah ada dalam jiwa bangsa Indonesia sejak dulu. Pancasila mampu mempersatukan perbedaan suku, ras, golongan dan agama karena bersifat terbuka dan merangkul semua unsur.

Keseimbangan akan menjadi terganggung apabila Pancasila yang bersifat terbuka menjadi alat eksklusi, baik oleh penguasa maupun kelompok mayoritas. Akibatnya, Pancasila tidak akan lagi terbuka dan kelangsungan hidup Indonesia bakal terancam.

Namun, bukan berarti semua orang di Indonesia merasa berketuhanan. Secara historis dan sosiologi, masyarakat Indonesia secara umum meletakkan ketuhanan menjadi prinsip dasar dalam hidup. Oleh karena itu, paham ketuhanan absolut dibutuhkan guna persatuan. Hal itu juga berlaku untuk sila-sila yang lainnya.

Menjadi alat persatuan, sila pertama mencakup berbagai ajaran dan manifestasi agama-agama yang ada. Sehingga, pengertian dan pengaplikasiannya harusnya bersifat mengakomodir semua pihak tanpa ada yang boleh memonopolinya.

Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip yang memberikan ruang bagi semua kelompok agama dalam hal kepercayaan dan pengamalan masing-masing. Itulah paham ketuhanan yang saling menghormati.

Dengan dihapusnya tujuh kata pada sila pertama Piagam Jakarta menandai kesepakatan konstitusional. Sebab, dengan tanpa imbuhan tujuh kata tersebut, semua kelompok agama tetep terakomodasi dan sila pertama tetap bersifat inklusif.

Secara historis, segala upaya memonopli sila pertama telah membawa Pancasila sebagai alat eksklusi. Sepanjang tahun 1950-an Pancasila terseret ke lembah perseteruan yang pada akhirnya mengakibatkan bubarnya Konstituante tahun 1959. Keadaan yang sama terulang kembali pada masa-masa awal orde saat kelompok Islam yang berupaya untuk mengembalikan lagi Piagam Jakarta.

Saat Soekarno menyentil bahwa ada kelompok yang hanya sibuk mengurus sila pertama saja, dalam buku Urat Tunggang Pantja Sila karya Hamka, beliau mengatakan bahwa hanya dengan berpegang teguh pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa-lah keberlangsungan hidup Indonesia akan terjamin. Sebab, inti dari sila pertama adalah tauhid.

Beberapa pemikin nonmuslim, seperti J.W.M. Barker, W.B. Sidjabat turut memberi komentar melalui tulisan-tulisan bukunya untuk membantah monopoli tafsir versi Islam. Akibatnya, monopoli tafsir hanya menyisakan polarisasi dan permusuhan.

Tentu saja umat Islam memiliki hak untuk meyakini bahwa tauhid adalah inti dari sila pertama. Namun, perlu digarisbawahi bahwa yang berhak memiliki keyakinan dan penafsiran mengenai sila pertama tidak hanya umat Islam. Sebab, Indonesia terdiri dari berbagai agama yang telah ada jauh sebelum nama Indonesia terbentuk. Selain itu, kata “Yang Maha Esa” bukanlah menjadi pengganti tujuh kata yang berada dalam Piagam Jakarta.

Penerimaan penganugerahan doktor honoris causa oleh UIN Jakarta pada 1964, Soekarno mengatakan bahwa negara harus berketuhanan. Indonesia merupakan negara yang berketuhanan

Agama dihadirkan dalam kehidupan bernegara tidak serta-merta untuk dimanifestasikan dalam bentuk, panji-panji yang mengibarkan sektarianisme, namun sebagai dasar moral dan visi kehidupan bersama yang adil, damai, lapang dan memanusiakan manusia, berperikemanusiaan.

Ironisnya, di tengah masyarakat yang kini sedang diterjang pasang naik konservatisme, justru bentuk-bentuk agama kian rawan dipergunakan dengan salah.

Pengambil kebijakan, pemimpin, aparat serta masyarakat mudah terkecoh, bahkan lebih parahnya sengaja menggunakan simbolisme agama. Tak sedikit yang bingung dan bersikap dengan salah.

Selain sederet kesulitan juga kekerasan yang dialami kaum minoritas, kasus seperti pembubaran dan pengafiran terhadap kaum nonmuslim terus bermunculan.

Janji kampanye Presiden Jokowi pada pemilu lalu bahwa akan menuntuskan pelanggaran HAM harus segera diterjemahkan menjadi kebijakan dan tindakan yang konkret, baik pelanggaran HAM lalu maupun baru. Di negara yang berdasar pada ketuhanan, setiap umat berhak mengamalkan ajaran agama sesuai keyakinan dan cara mereka masing-masing. Negara tidak boleh pilih kasih. Sebab, Pancasila telah menjadi titik temu dan haruslah menjadi titik temu selamanya. Agar keseimbangan yang mampu merangkul semua tidak terganggu. Pancasila sila pertama haruslah memberikan ruang yang sederajat dan bermartabat bagi semua agama.

Kedewasaan umat Islam yang menjadi mayoritas seperti yang dicontohkan para pendiri bangsa terdahulu yang rela agama tidak menjadi dasar negara dan terhapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah sikap kebijaksanaan yang menempatkan agama sebagai esensi bukan bentuk.

“Perjuangan umat Islam haruslah sejalan dengan perjuangan bangsa dan keduanya harus sejalan dalam perjuangan kemanusiaan” (Gus Dur).

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top