Oleh: Alwi Husein Al Habib, Ketua Bidang PA HMI Cabang Semarang
Diskursus tentang valentine tidak pernah habis
dibahas. Bagi mereka yang pro terhadap perayaan valentine, menganggap hal
tersebut sah-sah saja. Valentine adalah bentuk ungkapan kasih sayang. Terlepas
dari adanya degradasi moral bangsa terkait perayaan valentine, ada hal yang
lebih memilukan daripada itu semua. Mereka yang merayakan valentine sebenarnya
adalah mereka yang menyetujui adanya perbudakan. Hanya saja mereka tidak
menyadarinya.
Perlu diketahui bahwa perayaan hari
valentine menuai banyak sekali kontroversi. Dari mulai unsur agamis sampai sosialis.
Tidaklah heran ada orang yang mempertanyakan tentang apa pentingnya merayakan
valentine. Sebab yang kita ketahui, seluruh momen penting yang dirayakan mesti memiliki
dasar yang kuat. Seperti hari ibu, sebab darinyalah manusia lahir. Hari guru,
sebab guru adalah mereka yang mengajarkan banyak hal. Hari pohon sedunia, hari
ayah, hari anak, dan hari-hari lainnya yang menjadi momen yang logis untuk
dirayakan.
Apa yang membuat 14 Februari menjadi hari
yang perlu dirayakan sebagai hari kasih sayang? Jika ditinjau secara historis,
maka kita akan menemukan tragedi yang akan membuat kita berpikir ulang untuk
merayakan hari tersebut. Walau kisah yang populer adalah kisah seorang pendeta
yang menikahkan pasangan muda-mudi yang pada awalnya pernikahan sangat ditentang
oleh kaisar Romawi. Kemudian ia ketahuan dan lantas di hukum pancung. Hari
terbunuhnya Pendeta Valentine itulah yang menjadi perayaan hari valentine di
seluruh dunia termasuk Indonesia.
Namun ada sejarah dari era Romawi Kuno
terkait kepercayaan paganisme. Setiap tanggal 13-15 Februari, warga Romawi Kuno
merayakan Lupercalia yaitu upacara penyambutan dewi kesuburan. Hal itu terjadi
sampai sekitar tahun 496 Masehi. Yang menarik adalah upacara tersebut diiringi
oleh ritual sesat sadomasokis.
Bagi yang belum tahu, sadomasokis adalah
bentuk penyimpangan seksual. Mereka memuaskan nafsu seksualnya melalui
penyiksaan. Seperti halnya yang terjadi di era Romawi kuno tersebut. Upacara
itu memperlihatkan seorang pria bertelanjang setengah badan yang berlarian di
jalanan. Mereka mencambuk gadis-gadis muda dengan tali yang terbuat dari kulit
kambing atau anjing yang baru dikorbankan. Mereka mempercayai itu sebagai
upacara yang dapat membuat perempuan lebih subur.
Terlepas dari banyaknya kontroversi
terkait sejarah dan perayaan valentine, ada hal yang memilukan yang mesti kita
ketahui. Terutama fakta menarik dibalik cokelat yang menjadi simbol penanda
V-Day. Banyak yang tidak mengetahui gagasan utama pemberian cokelat sebagai
simbol di hari valentine adalah dari seseorang bernama Richard Cadbury. Sesuai
namanya, pasti kita sudah tidak asing lagi dengan nama Cadbury yang selalu
menghiasi iklan di pertelevisian Indonesia dengan menawarkan produk cokelat.
Hal tersebut terjadi di akhir abad ke-18. Atas dasar itu, kita akan menemukan
perusahaan atau industri yang memanfaatkan momen tersebut.
Sebenarnya bukan hanya industri cokelat
yang memanfaatkan momen valentine untuk keperluan bisnisnya. Selain cokelat,
ada beberapa benda yang laku di jual di hari menjelang valentine seperti bunga,
kartu ucapan, balon, aneka hiasan, sampai pada alat kontrasepsi. Dengan
demikian, hari valentine sebenarnya adalah salah satu agenda penjajahan ekonomi
gaya baru. Mereka mempunyai target menciptakan generasi konsumeris. Yang paling
memilukan adalah mereka membuat pola perbudakan baru. Diinisiasi oleh pemilik
modal besar terhadap masyarakat ekonomi lemah.
Mengapa dikatakan bahwa ini adalah pola
perbudakan baru? perlu diketahui bahwa pada kisaran tahun 2004, sebuah situs
Amerika mengangkat berita utama dengan tema, “the dark side of valentine day between chocolate industry and child
slavery”. Disana terkuak sebuah fakta bahwa dibalik melonjaknya permintaan
pasar terhadap cokelat saat hari valentine, ada perbudakan anak-anak di Afrika
Barat, di Pantai Gading. Hal tersebut di ungkapkan oleh kelompok advokasi dan
organisasi non-pemerintah yang berbasis di San Fransisco, California, Amerika
Serikat. Global Exchange, begitulah mereka menamainya. Kelompok ini menetapkan
misinya untuk mempromosikan hak asasi manusia dan keadilan sosial, ekonomi dan
lingkungan di seluruh dunia.
Global Exchange bekerja melakukan
penyadaran terhadap masyarakat tentang sisi gelap hari Valentine. Sebab, seperti
yang diungkapkan oleh Melissa Schweisguth, sekitar 70 persen kakao dunia
berasal dari Afrika Barat, dan 42 persennya berasal dari Pantai Gading. Dengan
demikian, Afrika sangatlah jelas menjadi sumber utama pemasok kakao dunia,
terutama untuk perusahan-perusahaan besar.
Koordinator Perdagangan Adil Global
Exchange itu mengungkapkan masalah utama dari pekerjaan tersebut adalah adanya
perbudakan anak dan pekerja yang ditemukan di perkebunan kakao. Industri
menolak untuk memberikan upah hidup untuk produsen. Alasannya karena masyarakat
Afrika disana adalah masyarakat yang sangat miskin. Orang yang sangat miskin
tersebut hanya membutuhkan makan sehari-hari dan keperluan lain untuk dapat
mengirim anak-anak mereka ke sekolah. Industri tidak memperhatikan kebutuhan
minimum yang stabil para pekerjanya. Yang mereka perhatikan hanyalah bagaimana
cara untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum.
Bagi banyak anak-anak dan pekerja kakao
disana, pertanian kakao bukanlah hal mudah. Pekerjaan tersebut cenderung
melelahkan, berkeringat, sulit, berbahaya sebab harus berkenalan dengan parang
dan bahan-bahan kimia. Realitas tersebut meresahkan dan menyesakkan. Dilaporkan
ada sekitar 5 juta anak yang masih bekerja di pertanian kakao di Afrika Barat,
dari anak-anak hingga remaja. Bahkan ada sebagian mereka yang lahir dan besar
di ladang kakao. Dampaknya, anak-anak kehilangan kesempatan untuk berpendidikan
dan para pekerja di bayar sangat rendah.
Sementara di bagian negara lain, orang
menyambut hari valentine dengan gembira. Dengan menikmati cokelat yang bahkan
mereka tidak tau peristiwa pilu dibalik pembuatan cokelat tersebut. Orang tidak
menyadari bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Afrika Barat.
Sebagian buruh kakao pun tidak akan pernah mencicipi cokelat yang mereka buat
sendiri dengan susah payah. Miris sekali.
Persoalan valentine ini bukan lagi persoalan agama. Ini persoalan hak asasi manusia. Orang bisa memperdebatkan apakah perayaan ini sah atau tidak. Tapi orang tidak bisa memperdebatkan tentang kejadian penjajahan yang terjadi di Afrika sana. Semua pasti tidak setuju atas segala bentuk penjajahan yang terjadi di dunia, jika orang tersebut waras. Dengan begitu, makna sebenarnya perayaan Valentine adalah merayakan perbudakan atas anak-anak dan kaum buruh. Selamat merayakan hari perbudakan 14 Februari 2020. Wallahu a’lamu bi al-shawwab