HMI merupakan organisasi Islam pertama yang lahir pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta dan memberi warna pada sejarah bangsa Indonesia.
Dalam sejarah kelahirannya, HMI pun memiliki tujuan dalam menghadapi persoalan kebangsaan dan keumatan. Seiring berjalannya waktu, tujuan-tujuan HMI berganti tiga kali hingga sekarang tercantum dalam Anggaran Dasar HMI Pasal 4 mengenai Tujuan dan Usaha. Itulah yang dikatakan Said Muniruddin mengenai Evolusi Formula Tujuan HMI dalam buku Bintang ‘Arasy (2014, 35-36).
Bahkan, tak tanggung-tanggung, HMI yang merintis organisasi Islam pertama kali tidak berstatus sebagai organisasi mahasiswa atau hanya sekedar organisasi Islam. Dalam Anggaran Dasarnya seperti tercantum dalam pasal 6, 7, dan 8, HMI mempunyai sifat, peran, dan fungsinya sendiri.
Berstatus sebagai organisasi mahasiswa, HMI sudah sejak awal berdiri membersamai pemerintah dan rakyat Indonesia dalam menumpas pemberontakan PKI. Bahkan, membentuk CM (Corps Mahasiswa) dalam unit tempur dan aksi penggayangan PKI. Sampai-sampai, PKI akhirnya membenci organisasi Himpunan Mahasiswa Islam ini akibat campur tangannya dalam menebar bibit-bibit komunisme.
Berfungsi sebagai organisasi kader, Himpunan Mahasiswa Islam melakukan perkaderan secara terstruktur. Sebenarnya, dengan adanya jenjang perkaderan, seluruh aktivitas yang dilakukan organisasi HMI pada dasarnya merupakan proses kaderisasi. Berkaitan dengan statusnya sebagai organisasi mahasiswa, HMI berupaya mencetak kader-kader muslim intelektual yang profesional dengan berbagai jenjang perkaderan yang dimiliki.
Sementara, peran organisasi HMI ialah sebagai organisasi perjuangan. HMI sebagai organisasi perjuangan senantiasa berjuang membentuk kader bangsa yang muslim, intelektual, dan profesional yang output-nya ditujukan untuk kepentingan bangsa Indonesia sendiri. Setiap kanda dan yunda kader HMI merupakan insan cita yang memperjuangkan kepentingan bangsa serta umat yang tengah dilanda krisis.
Sebagai organisasi perjuangan, HMI selain terjun dalam aksi G30S/PKI juga sudah berjuang sejak kelahiran hingga masa reformasi. Meski dalam prosesnya, hujatan dan rasa benci serta isu pembubaran menyertai tiap langkah kader HMI baik dari kaum intelektual berupa organisasi mahasiswa lain maupun PKI dan rakyat Indonesia.
Ada berbagai versi fase HMI. Namun, dalam buku Bintang ‘Arasy setidaknya ada tujuh fase baik event internal maupun eksternal, antara lain: Fase Pengukuhan (5 Februari – 30 November 1947), Fase Perjuangan Bersenjata (1947-1949), Fase Pertumbuhan dan Pembangunan HMI (1950-1963), Fase Tantangan (1964-1965), Fase Kebangkitan, Orde Baru dan Angkatan ’66 (1966-1968), Fase Pembangunan Nasional dan Reformasi (1969-1998), dan Fase Reformasi dan Tantangan Global (1998-sekarang).
Perkaderan HMI di Tahun 2020-2021
Dilihat dari tanggal kelahirannya, HMI lebih senior dari organisasi mahasiswa Islam lain semisal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Organisasi HMI pula hadir lebih dahulu daripada organisasi mahasiswa lain yang memiliki ideologi, seperti halnya Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang berdasarkan pada agama atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berbasiskan nasionalisme.
HMI kini mempunyai 20 BADKO (Badan Koordinasi) serta 188 cabang yang berada di seluruh kawasan Indonesia. HMI telah bermetamorfosa sebagai organisasi yang mewarnai dinamika perguruan tinggi sejak dulu hingga sekarang.
Akan tetapi, proses perkaderan dan keorganisasian tiap daerah mempunyai caranya masing-masing. Bisa saja dalam satu daerah, komisariat, cabang, dan BADKO yang ada begitu aktif dalam berbagai aktivitas HMI. Tak sedikit pula, daerah yang baik komisariat, cabang, maupun BADKO-nya seolah mati suri sehingga embel-embel “persiapan” menjadi pilihan akhir akibat terhentinya proses kaderisasi dan minimnya kader intelektual profesional.
Sungguh amat disayangkan, apabila kader-kader HMI akhirnya harus menghentikan jenjang perkaderannya hanya karena ketidakprofesionalitasan. Memang, semuanya tergantung pada skill dalam mengorganisir dan mengkader.
Nah, apa gunanya seorang kader HMI berada di dalam lingkup Himpunan Mahasiswa Islam apabila dia sendiri tidak bisa mengkader?
Dalam perekrutan kader sendiri, ada berbagai jenjang perkaderan. Dimulai dari setiap komisariat yang mengadakan agenda rutin LK-1 atau Basic Training, kemudian dilanjutkan dengan Intermediate Training atau LK-II dan Advanced Training (LK-III) untuk jenjang perkaderan formal.
Selain jenjang perkaderan formal, ada pula training informal seperti Training of Trainer (Senior Course) dan Latihan Khusus Korps HMI-wati (LKK). Fakta perkaderan ini membuat HMI menjadi organisasi paling produktif dan progres serta masif dalam upayanya melahirkan kader berkualitas insan cita.
Kader HMI saat ini telah berada dalam fase Tantangan Global. Di era 5.0, setiap kader HMI harus menghadapi tantangan digital yang mengerikan. Tidak hanya harus pandai menulis di berbagai media massa demi hidupnya organisasi HMI, penguasaan aplikasi tertentu sudah menjadi hal wajib untuk keberlangsungan HMI di masa kini.
Sekarang, bukan hanya tantangan digital lagi yang menjadi momok. Mulai tahun 2019, akibat COVID-19, imbasnya pada proses perkaderan di tahun 2020. Jenjang-jenjang perkaderan terpaksa berhenti karena nyawa adalah jaminannya. Training-training yang ada baik LK-1, LK-2, LK-3, LKK, dan SC serta training semisalnya harus mati suri hanya karena imbauan pemerintah yang tidak kompeten.
Inilah masalahnya, bagaimana caranya kaderisasi tetap berjalan meski virus mematikan Corona menjadi halangan serius? Zoom dan Google Meet pun ramai dipakai. Untuk seminarlah, untuk follow up-lah. Namun, apakah kader HMI yang baru lahir mengerti dinamika perkaderan di HMI? Apakah mereka yang masih cute dan naive ini paham akan lima materi wajib HMI? Konstitusi, Mission, KMO, sejarah, dan NDP harus mereka telan mentah-mentah demi tidak berhentinya kaderisasi. Belum tentu mereka paham benar. Salah-salah malah bisa jadi penyimpangan tafsir. Bukan tidak mungkin HMI yang memang sudah jadi kontroversi sejak dulu lebih dibenci lagi.
Melihat tidak efisiennya digitalisasi kaderisasi, perlu adanya cara baru mengkader. Namun, perkaderan bukan hanya soal pemberian materi atau pemahaman materi saja. Lebih dari itu, kader adalah orang yang nantinya akan memegang tampuk kepemimpinan.
Menerobos aturan pemerintah, mulai akhir tahun 2020 hingga awal 2021, jenjang-jenjang perkaderan mulai marak kembali. Proposal-proposal berbagai jenjang perkaderan tersebar dari berbagai daerah. Mulai jenjang intermediate hingga senior course, dari ujung Aceh hingga pulau timur.
Perkaderan bukan hanya soal menguasai teknologi di era digital. Namun, juga bagaimana seorang kader menyikapi tantangan perkaderan di era Covid. Yakusa!