Memahami al-Qur’an untuk Rambu-Rambu Kehidupan

0
Oleh: M. Sirojul Munir, Pengurus Bidang Pemberdayaan Umat HMI Cabang Semarang

Hidup di zaman akhir seperti sekarang ini diperlukan tameng yang kuat untuk dapat mempertahan diri dari segala macam pengaruh, ajaran, dan ideologi yang sesat-menyesatkan. Kita perlu sesuatu yang dapat menyelamatkan diri kita dari kesesatan, yang dapat berdampak pada kerugian tidak hanya di dunia, tetapi bahkan juga di akhirat. Allah Swt. telah menganugerahkan sebuah kitab pedoman dan petunjuk hidup agar kita khususnya umat muslim selamat di dunia dan akhirat, yaitu al-Qur’an. Yang dinamakan petunjuk berarti kita harus tahu artinya, agar bisa memahami maksud yang disampaikan di dalamnya, baru kemudian bisa menjadikannya sebagai penuntun dalam menjalani kehidupan. Tetapi kalau tidak tahu artinya, maka apakah al-Qur’an bisa disebut sebagai petunjuk?

Namun, itulah yang terjadi pada sebagian besar umat Islam di akhir zaman ini. Mereka tidak tahu arti dan maksud yang disampaikan di dalam al-Qur’an. Lebih parah lagi, bahkan membacanya pun enggan. Mereka lebih senang membicarakan dan melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya sama sekali dibandingkan dengan membaca al-Qur’an dan kemudian menelaahnya. Setiap muslim haruslah tahu arti dan maksud yang disampaikan di dalam al-Qur’an. Karena hanya dengan tahu artinyalah mereka bisa memahami maksud yang di sampaikan di dalamnya, dan kemudian bisa menjadikannya sebagai petunjuk.

Al-Qur’an itu ibarat rambu-rambu lalu lintas. Secara bahasa, rambu berarti tanda atau petunjuk. Dengan begitu, rambu-rambu lalu lintas artinya petunjuk-petunjuk lalu lintas, yakni petunjuk-petunjuk bagi para pengendara untuk berlalu lintas atau berlalu lalang di jalan raya agar selamat sampai tujuan. Setiap orang harus mampu memahami dan mengerti maksud rambu-rambu itu. Jika tidak, lalu apa gunanya rambu-rambu itu? Tak ada gunanya sama sekali. Sebab, rambu-rambu dibuat sebagai petunjuk bagi setiap pengendara yang sedang melintas di jalan raya, sekali lagi, tujuannya adalah, agar mereka selamat. Oleh sebab itu, mengerti dan memahami maksud setiap rambu-rambu merupakan sebuah keniscayaan.

Tidak cukup sekadar hafal, tetapi yang paling penting adalah paham dan mengerti maksudnya. Meskipun dia hafal betul bagaimana bentuk, warna, gambar bahkan tata letak serta posisi di mana setiap rambu-rambu itu berada; bentuknya seperti apa, warnanya apa saja, dan gambarnya bagaimana, bahkan tata letak serta posisinya di mana saja (kanan, kiri, atas, atau bawah), tetapi kalau dia tidak paham maksud dari rambu-rambu itu, maka ada maupun tidak adanya rambu-rambu itu adalah sama saja. Tidak ada gunanya sama sekali. Dan bahkan bahaya bisa menimpanya sewaktu-waktu tanpa dia duga. Tidak hanya dirinya, tetapi bahkan juga para pengendara lainnya.

Misal; di jalan Soekarno-Hatta terdapat rambu-rambu yang berbentuk anak panah yang berputar 180 derajat, dan anak panah itu dicoret miring—yang artinya tidak boleh berbalik arah. Tetapi kemudian ada seorang pengendara yang malah berbalik arah pada rambu-rambu itu—karena dia tidak paham dengan maksudnya. Lalu dari arah yang berlawanan, tiba-tiba datang pengendara lain yang melaju dengan kecepatan tinggi. Maka apa yang akan terjadi? Kedua pengendara tersebut bisa bertabrakan, dan terjadilah kecelakaan.

Misal lagi; di jalan raya terdapat lampu lalu lintas yang terkadang berwarna merah, kuning, dan hijau. Saat lampu itu berwarna merah—yang berarti harus berhenti—tiba-tiba ada pengendara yang malah menerobos lampu merah itu, karena dia tidak paham dengan maksudnya. Akhirnya, pengendara tersebut tertabarak oleh pengendara lain dari arah yang berlawanan. Jadi, kesimpulannya adalah setiap pengendara harus paham arti dan maksud setiap rambu-rambu yang ada. Karena kalau tidak, hal yang tidak diinginkan bisa saja menimpanya, bahkan juga pengendara lain.

Lalu, apa hubungannya dengan al-Qur’an? Sama halnya dengan al-Qur’an, setiap orang khususnya yang beragama Islam harus paham maksud dan arti di dalamnya. Tidak cukup dengan hanya bisa membacanya saja, tetapi dia juga harus tahu arti serta maksud yang terkandung di dalamnya. Bahkan orang yang hafal al-Qur'an sekalipun, tetapi hanya karena dia tidak tahu arti dan tidak paham maksudnya, maka hafalannya itu jadi seolah-olah tak berarti apa-apa, karena tidak ada ilmu pengetahuan yang didapatkan darinya yang dapat membuatnya terbimbing untuk menjalani kehidupan di dunia dan selamat darinya serta untuk selamat di akhirat kelak. 

Bahkan, meskipun dia hafal betul tata letak di mana setiap ayatnya berada; terletak pada halaman berapa, sebelah kanan atau kiri, bahkan terletak di bagian atas, tengah atau bawah, dia hafal betul; tetapi kalau dia tidak tahu arti dan maksudnya, maka tujuan diturunkannya al-Qur’an tersebut, yaitu sebagai pedoman dan petunjuk hidup, tidak akan pernah tersampaikan.

Oleh sebab itulah, sebelum menghafalkan al-Qur’an, alangkah baiknya, dan memang seharusnya, para calon penghafal al-Qur’an menguasai bahasa Arab serta kaidah-kaidah bahasanya terlebih dahulu. Dengan begitu, hal tersebut akan sangat membantunya dalam kelancaran menghafalkanya. Sebab, al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab (QS. Yuusuf: 2). Jadi, menguasai bahasa Arab bagi calon penghafal al-Qur’an merupakan sebuah keniscayaan. Barulah setelah dia berhasil menguasai bahasa Arab beserta kaidah-kaidah bahasanya, dia bisa menghafalkan al-Qur’an dengan lebih mudah dan cepat. Sebab, sesuatu akan lebih mudah dihafalkan manakala orang yang mau menghafalkan tahu arti dan maksud yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks ini, karena al-Qur’an berbahasa Arab, maka kita juga harus paham bahasa Arab. Agar bisa paham, maka kita harus mempelajarinya.

Kalau tidak tahu arti dan maksudnya, maka kita pasti akan mengalami kesulitan dalam menghafalnya, bahkan sampai setidaknya tujuh kali lipat. Hal itu berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Dr. Mohammad Nasih al-Haafidh, Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh al-Qur’an Monash Institute Semarang, sekaligus Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ. Penelitiannya itu kemudian ditulis di dalam sebuah buku yang berjudul “Abana: Menempuh Jalan Suci Membangun Qur’anic Habits (Potret Gagasan dan Aksi Mohammad Nasih)” (Mokhamad Abdul Aziz dkk: 2020, 3).

Untuk menjelaskannya, biasanya Nasih meminta orang lain untuk mengikuti perkataannya. Mula-mula Nasih memintanya untuk mengulangi kalimat yang dia ucapkan dengan bahasa Indonesia (bahasa yang bisa dipahami oleh orang itu). Misal, dia mengucapkan: “Pagi-pagi saya diajak ibu pergi ke pasar untuk membeli sayur-mayur.” Orang itu dapat mengulangi ucapannya dengan benar dan tepat hanya dengan satu kali saja, tanpa pengulangan. Tetapi ketika Nasih memintanya untuk mengulangi kalimat yang diucapkannya dengan bahasa Latin: “Ibis redibis numquam peribis in armis,” rata-rata orang yang dimintanya itu baru bisa tepat mengulangi kalimatnya setelah diulang sebanyak tujuh kali.

Padahal kalau kita perhatikan, kalimat dalam bahasa Indonesia itu berjumlah sebanyak 12 kata, sedangkan yang terdapat dalam bahasa latin itu hanya berjumlah 6 kata. Tetapi, mengapa orang itu butuh waktu lebih lama untuk menghafalkan kalimat Latin itu? Mengapa demikian? Ya, tepat sekali. Bagaimana tidak, yang dihafalkannya saja adalah kata-kata asing semua. Tentu dia butuh waktu dan tenaga lebih untuk menghafalkannya dengan benar dan tepat.

Kita semua tentu sudah tahu bahwa al-Qur’an itu tidak hanya terdiri dari satu-dua halaman, tetapi bahkan sampai ratusan halaman, tepatnya 604 halaman (dalam mushhaf Utsmani). Lalu, kalau semisal penghafal al-Qur’an lupa (baca: sudah tidak lancar lagi) dengan hafalan yang sudah dia hafalkan karena tidak konsisten dalam memurajaahnya, maka dia harus mengulangi (memurajaah) hafalannya itu lagi, dan itu (hampir) sama sulitnya dengan menghafal yang pernah dilakukannya pada kali pertama. Jadi dia seperti menghafal dua kali, bahkan bisa lebih. Sehingga menghafal al-Qur’an hanya akan menjadi beban seumur hidup baginya. Harus terus-menerus mengulang-ulang, tapi tidak paham dengan apa yang disampaikan didalamnya, dan akhirnya tidak mendapatkan ilmu apa-apa.

Berbeda dengan orang yang tahu artinya. Kalau dia lupa dengan hafalan yang sudah dia hafalkan, maka akan lebih mudah dan lebih cepat baginya dalam menghafalkannya kembali, dibandingkan dengan orang yang tidak tahu artinya, sebagaimana yang telah diilustrasikan di dalam cerita Dr. Mohammad Nasih di atas. Selain itu, ketika membaca al-Qur’an (kalau tahu artinya), akan banyak cerita-cerita menarik dan pengetahuan-pengetahuan serta wawasan yang akan didapatkan. Apalagi ketika membaca al-Qur’an, dia juga memperhatikan tajwid, makhorijul huruf serta rimanya, maka dia pasti akan sangat menikmati dan terkesima olehnya. Karena memang, al-Qur’an diturunkan dengan bahasa syair sangat indah, sehingga bisa membuat siapa pun yang mendengar, akan merasa sangat damai dan tentram hatinya.

Itulah di antara keuntungan yang akan didapatkan jika kita bisa berbahasa Arab, lalu menghafalkan al-Qur’an. Dan akan lebih lengkap lagi kalau kita juga mempelajari Hadits Rasulullah, yang notabene juga menggunakan bahasa Arab. Dengan begitu, al-Qur’an, dan tentunya juga Hadits, benar-benar bisa menjadi rambu-rambu bagi kita dalam menjalani kehidupan. Dan itulah pula maksud dari ‘turut al-Qur’an-Hadits’, karena keduanya merupakan pedoman bagi kita untuk menuju jalan keselamantan. Wallaahu a’lam bi al-showaab.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top