Lingkaran Setan Pembangunan Ekonomi Pedesaan

0
Oleh: Adiyaksa Rahman Firdaus

Pembangunan ekonomi pedesaan sering mengalami hambatan. Secara pengertian, pembangunan dipahami sebagai rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1994). Sementara, pembangunan ekonomi dijelaskan Syahza (2017) merupakan proses peningkatan produksi secara kuantitatif yang prosesnya mencakup perubahan pada komposisi produksi, alokasi, distribusi, serta perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Output dari pembangunan ekonomi seringkali diukur dengan kenaikan pendapatan per kapita masyarakat. Namun seiring berjalannya waktu, ada perluasan indikator menjadi angka penurunan kemiskinan dan pemerataan distribusi pendapatan. Dalam lingkup pedesaan, beberapa masalah yang lazim ditemui dan menghambat pembangunan ekonomi dijelaskan berikut.

Pertama, kemampuan sumber daya manusia yang rendah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memeringkat akses pendidikan dasar dan menengah di Indonesia belum meluas, karena masuk dalam kategori kurang dengan nilai 72,75 (Kemendikbud, 2018). Perluasan akses pendidikan ke setiap desa perlu diperhatikan supaya gerakan wajib belajar 12 tahun tidak terhambat. Hambatan ini berbahaya, karena mempengaruhi kemiskinan dan pengangguran. Tercatat per September 2021, persentase penduduk miskin di pedesaan mencapai angka 12,53 persen dengan keparahan 0,59 (BPS, 2021). Sedangkan pada laman cnnindonesia.com (11/06/2021), Kementerian Keuangan merilis angka pengangguran terbuka di desa mencapai 4,11 persen pada 2021.

Kedua, lembaga ekonomi pedesaan belum berfungsi optimal. Kita sering menjumpai hadirnya KUD, KSP, BUMDes, bank, lembaga keuangan bukan bank (LKBB), dan seterusnya yang mestinya turut berpartisipasi dalam penggerakan perekonomian desa. Kegagalan pembangunan ekonomi desa dapat menstimulus penduduk untuk melakukan urbanisasi, BPS (2020) memperkirakan penduduk yang tinggal di perkotaan pada tahun 2020 mencapai 56,7 persen dan diprediksi bertambah menjadi 66 persen pada 2035. Urbanisasi harus ditekan sebab tenaga kerja yang kurang kompeten kemampuannya dengan lapangan kerja berpotensi mengurangi tenaga produktif di desa serta menimbulkan konflik sosial akibat kesenjangan, pengangguran, maupun kriminalitas.

Ketiga, minimnya dukungan politik dari pemerintah. Komitmen pemerintah untuk meningkatkan dana desa dengan kisaran 1 miliar per desa per tahun menjadi sorotan. Kebijakan yang diupayakan presiden dalam rentan waktu 2020-2024 rentan penyelewengan bila tidak dimonitor. Beberapa kasus yang terungkap antara lain korupsi dana desa oleh oknum Kepala Desa Nanga Libas, Sokan, Melawi, Kalimantan Barat, sejumlah 1,5 miliar rupiah selama 2 tahun, seperti dilansir kompas.com (25/03), serta ribuan laporan terkait penyimpangan pengelolaan dana desa yang ditangani KPK (01/12/2021) dalam liputan antaranews.com.
 Pemerintah dari unsur eksekutif maupun legislatif harusnya mampu melakukan pengawasan lewat penyesuaian peraturan perundangan terkait desa, distribusi dana lewat mekanisme digital, dan mekanisme laporan pertanggungjawaban yang dipantau secara real-time. Sedangkan penegakan hukum, sinkronisasi tugas dari Kejaksaan Agung, KPK, OJK, serta Polri akan menunjang kelancaran distribusi dana tersebut.

People-centred development dapat dikembangkan guna menjadi solusi. Korten (1990) menjabarkan people-centred development ialah pembangunan yang didasarkan pada kebutuhan dan hak dari masyarakat dengan perhatian pada yang termiskin, paling tidak berdaya, dan masyarakat pribumi. Guna memunculkan kemandirian pada “akar rumput”, inklusivitas pembangunan mesti melibatkan partisipasi aktif warga.

Capacity building melalui program KKN berkelanjutan, desa binaan perguruan tinggi, hingga hilirisasi teknologi tepat guna di desa yang menggandeng mahasiswa maupun tenaga ahli sangat aplikatif. Mahasiswa dan tenaga ahli akan menjadi mentor yang berfungsi melatih warga, khususnya pemuda, supaya dapat mengupayakan kemakmuran tanpa meninggalkan desa. Lembaga perekonomian desa akan menjadi pendonor keuangan bila dilibatkan dalam penyaluran kredit UMKM, sentra penjualan komoditas desa, sarana penyerapan tenaga kerja, maupun dalam distribusi dana desa. Kemudian intervensi politik pemerintah guna memastikan pembangunan ekonomi desa berjalan adalah sebagai penyerap aspirasi, pembuat kebijakan, dan penegak aturan melalui lembaga yang berwenang. Perkembangan teknologi perlu disisipkan dalam proses pemantauan, pelacakan transaksi keuangan, pembuatan mekanisme pelaporan penyimpangan, publikasi kebijakan, serta dalam memberikan edukasi pada masyarakat. Keseluruhan proses ini akan berjalan bila tumbuh empati untuk saling menggerakkan dan menyempurnakan.

*Penulis merupakan mahasiswa Administrasi Bisnis Universitas Diponegoro.

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top