Oleh: Alwi Husein Al Habib, Kabid PA HMI Cabang Semarang
Bulan Februari 2022 lalu, HMI Korkom Walisongo cabang Semarang mengadakan sebuah training LK2 dengan tema yang cukup menarik yakni “HMI back to pesantren”. Ini juga bagian dari otokritik untuk kader kader HMI supaya “nyantren” atau “nyantri”. Jika dilihat dari logika bahasanya, berarti HMI itu sudah jauh dari pesantren sehingga harus di “kembali” kan. Tapi apa sebenarnya makna pesantren ini?
Pesantren adalah sebuah tempat sebagai kawah candradimuka Islam. Santri diibaratkan seperti sebuah pedang tumpul yang dipanaskan kemudian ditempa supaya kembali menjadi tajam. Begitulah kira kira gambaran santri di pondok pesantren yang mesti menahan pedihnya menuntut ilmu. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh imam Syafi'i, “Jika kamu tidak sanggup menahan perihnya belajar, maka bersiaplah untuk menanggung pahitnya kebodohan”. Ketahanan, konsistensi, dan komitmen dalam menuntut ilmu itu yang identik dengan namanya santri dan pesantren.
Fungsi pesantren diantaranya adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim yang dapat berperan aktif di dalam lingkungan masyarakat. Selain itu, pesantren juga menjadi wadah untuk mempelajari nilai-nilai keIslaman yang terkandung pada al-Qur'an dan hadis. Secara definitif, tentu antara HMI dan Pesantren bisa dibilang sama karena sama sama menjadikan Al-Qur'an dan hadis sebagai kerangka berpikir dan bergerak.
Pada beberapa kasus yang umum kita temui di komisariat, kemunduran memahami nilai-nilai Islam dan jauhnya dari pedoman alquran dan hadis terlihat begitu marak. Hal sederhana seperti membaca Alquran jarang kita temui pada diri kader HMI. Padahal membaca adalah bagian dari upaya memahami Al-Qur'an. Apalagi hadis yang banyak kader HMI asing dengannya. Terlebih soal beribadah yang sering kader HMI tinggalkan. Memang benar kalau ibadah itu urusannya anatara hamba dengan Allah. Tapi dalam konteks berislam, tidak menjalankan rukun Islam adalah sebuah pengkhiatan syariat.
Pengkhianatan syari'at agama Islam sering kita temui seperti tidak menjalankan salat. Padahal salat adalah kewajiban pokok yang membedakan antara Islam dan kafir. Istilah “ngopi” pada akhirnya menyempitkan gerakan kader HMI yang sering membicarakan seputar politik dan sosial di meja meja warung kopi. Tapi melupakan hal fundamen yang mesti dituntaskan tatkala hendak berbicara mengenai suatu bangsa yaitu “ngaji”. Memang di dalam “ngopi” itu bisa ada “ngaji”, tapi faktanya dilapangan tidak demikian. Hal hal mubazir lebih banyak dilakukan ketimbang hal positif.
Itulah yang menjadi alasan utama mengapa HMI Korkom Walisongo Semarang mengadakan lk2 dengan tema yang ekstrim bagi kader HMI yakni HMI back to pesantren. Agar nilai-nilai keislaman itu terjaga menjadi sebuah budaya atau tradisi dalam ber-HMI. Contoh sederhana yang dilakukan lk2 HMI Korkom Walisongo Semarang untuk membiasakan dan menjadikan Islam sebagai habbit adalah salat jamaah tepat pada waktunya. Sepertinya sederhana, tapi ini adalah bentuk dari harapan lahirnya perubahan.
Salat jamaah seringkali dikaitkan dengan sisi spiritual sehingga banyak awalnya kader HMI yang menolak dan mencari cari dalil bahwa salat jamaah itu tidak wajib. Memang diantara para ulama hal ini menjadi perdebatan. Tapi untuk membentuk seorang kader yang ditempa secara terus menerus, salat jamaah bisa jadi sarana latihan. Bukan hanya latihan kedisiplinan, tapi juga latihan memahami dan mendalami makna jamaah. Perlu diingat bahwa Nabi Muhammad berhasil berdakwah di Madinah salah satu faktornya adalah menjadikan masjid sebagai pusat peradaban.
Selain salat berjamaah, lk2 HMI Korkom Walisongo Semarang juga menerapkan waktu untuk belajar alquran dan tafsirnya. Tentu saja ini didukung dengan pemahaman dasar ilmu alat atau nahwu Sharaf kader HMI. Sehingga sebelum belajar quran dan tafsirnya, perlu sekali mempelajari alatnya. Seperti memancing dilaut, bila tak punya alat tak ada yang akan didapat.
Mungkin nampaknya sederhana dan bahkan kelihatan ketinggalan tatkala kader HMI di LK2 malah belajar nahwu Sharaf atau ilmu alat. Boleh juga dikatakan ketinggalan supaya kader HMI sadar bahwa dia terlambat memahami Islam dan harus bekerja ekstra untuk mempelajarinya. Pemahaman akan ilmu alat ini yang nantinya menjadi bekal bagi kader HMI untuk menafsirkan Alquran dan mentransformulasikan ke dalam kehidupan sehari hari. Supaya Islam yang melekat pada kalimat Himpunan Mahasiswa Islam tidak hanya dipahami sebagai orang islam di KTP, tapi lebih kepada aktivis Islam yang menjadikan Al-Qur'an dan Hadis sebagai sarana mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.