Siang itu, di bawah terik matahari, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus di Kota Semarang membanjiri kawasan Simpang Lima Kota Semarang. Di bawah terik matahari suara aspirasi mereka lontarkan. Ditujukan ke pucuk pimpinan Jawa Tengah. Hari itu aksi menolak berbagai RUU (Rancangan Undang-Undang) yang akan disahkan oleh DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) dalam waktu yang singkat. Silih berganti berorasi, menyanyi, berpuisi untuk menyampaikan ‘uneg-uneg’ untuk negeri. Tua muda, laki-laki perempuan melebur menjadi satu nuansa. Sembari mahasiswa membanjiri sepanjang Jalan Pahlawan tersebut, arus lalu lintas di dunia maya juga berseliweran. Aksi juga digaungkan di dunia maya tersebut melalui berbagai platform media sosial. Instagram contohnya. Tak sedikit mahasiswa membagikan kondisi terkini mengenai aksi tersebut. Hingga pelosok negeri seketika tau bahwa mahasiswa dan masyarakat sedang memberikan aspirasinya.
Oktober 2019, Presiden Jokowi dilantik menjadi Presiden untuk kedua kalinya. Dengan masalah HAM (Hak Azazi Manusia) yang masih belum selesai dan korupsi yang masih merajalela. Yang lebih parah lagi menyisahkan konflik agraria yang membuat rakyat murka terhadap para penguasa. Sebut saja misalnya konflik PT RUM di Sukoharjo, konflik penggusuran warga di Taman Sari, dan konflik TNI yang ricuh dengan rakyat di Uratsewu beberapa waktu silam. Ini hanyalah segelintir tragedi yang tak pernah muncul di televisi. Sehingga wajar saja rakyat menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini.
Bukannya menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, namun kasus-kasus tersebut dikalahkan dengan bahasan ‘menarik’ yang diangkat media-media arus utama kala itu, misalnya seperti Sunda Empire, Keraton Agung Sejagat, bahkan isu Jokowi bersama Jan Ethes ke mall. Isu tersebut muncul di berbagai media, baik online maupun konvensional. Tentu hal itu mempengaruhi opini publik. Setidaknya membuat perbincangan warga bergeser dari kasus PT RUM dan sejenisnya menjadi para ‘raja-raja’. Sungguh luar biasa permainan opini publik melalui media-media.
Usut punya usut, pantas saja media-media arus utama lebih asik memberitakan hal seperti itu. Ternyata oligarch media adalah elite juga. Yang bisa memilah bahasan apa saja yang pantas untuk warga. Tentu mereka akan memilah yang aman untuk mereka. Yang tidak akan merugikan kekayaan, bahkan menjatuhkan mereka dari sebuah jabatan. Akhirnya dipilihlah tontonan itu tadi. Begitulah realita demokrasi yang ‘mereka’ mau.
Namun zaman silih berganti. Perkembangan di segala sektorpun tak terkendalikan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di abad 21 ini menjadi penting karena revolusi industri telah sampai pada level yang keempat, industry 4.0. Di mana segala aktivitas masyarakat bergantung dengan teknologi canggih yang berkembang. Hal ini mempengaruhi kehidupan sosial, sektor ekonomi, politik, bahkan berpengaruh terhadap aktivis gerakan. Yang mana era ini berdampak baik memunculkan media digital berbasis independen yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
Kalau kata Jurgen Habermas, seorang filsuf dari Jerman itu, dalam kehidupan ini ada sebuah “public sphare” atau ruang publik yang diperebutkan untuk merebut opini rakyat. Kadangkala di era sekarang, rakyat bisa memenangkan pertarungan melawan penguasa di ruang publik tersebut.
Tentu saja alat yang dapat mendukung kegiatan masyarakat untuk merebut ruang publik itu adalah media digital independen. Sebut saja contohnya aksi yang diinisiasi masyarakat sipil September 2019 silam, saat itu ada sebuah aksi yang bertajuk Reformasi Dikorupsi. Saat itu rakyat memaksa media-media arus utama meliput mereka. Tentu bukan suatu kebetulan yang lumrah. Rakyat berhasil berkonsolidasi dan memanfaatkan media maya sebagai senjata mereka. Mereka menggunakan platform media sosial untuk memberitakan ke masyarakat lainnya. Kepada para kolega bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Konsolidasi terjadi di grup-grup berbagai platform seperti WA, LINE, Instagram, dan Twitter. Tak hanya itu propaganda media berhasil berujung pada konsolidasi di angkringan kopi dan berakhir di kampus-kampus.
Saat itu aksinya pecah di jalanan. Penguasa gentar dan rakyat menang walaupun hanya sementara. Sebut saja sementara karena apa yang dituntut oleh rakyat saat itu cuma ditunda. Bahkan UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) saat itu sudah disahkan. Namun aksi tersebut adalah bentuk keberhasilan rakyat membangun gerakan. Berbagai elemen bersatu. Tentu peran media independen seperti media sosial adalah senjata yang manjur.
Contohnya saja mahasiswa UGM yang berhasil mengawal kasus kekerasan seksual dan menuntut segera disahkan peraturannya beberapa tahun yang lalu. Saat itu mereka berhasil menggalang opini publik. Bukan publik UGM saja namun se-Indonesia. Tagar “UGM bohong lagi” adalah contoh gerakan media yang berhasil mereka lakukan disaat media arus utama tak ada yang mengawal isu ini. Setelah aksi media ini berhasil barulah media-media besar mau meliputnya. Gerakan ini bermula ketika Tagar itu mengemuka usai Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak kunjung mengeluarkan peraturan tentang kekerasan seksual. Padahal pihak rektorat sudah berjanji untuk mengesahkan peraturan tersebut akhir 2019 yang lalu.
Oleh karena itu saat ini dapat disimpulkan bahwa rakyat dapat menghidupkan demokrasi walaupun ditengah kepungan oligarki media yang sangat fokus mengontrol pemberitaan media massa. Di era digital saat ini masyarakat memiliki alat media independen yang menguntungkan kita untuk memproduksi narasi dan membentuk opini publik. Saat ini rakyat memiliki senjata pembentuk opiniinya juga. Seenggaknya bisa bersaing dengan medianya para penguasa. Media sosial dan internet adalah senjata kita.
Media sosial sebagai ruang publik baru dapat kita pahami sebagai wahana perjuangan kalangan kelas bawah terhadap otoritas pemerintah. Hal ini berdampak baik untuk memproduksi opini publik. Selanjutnya opini publik juga sering disebut organ-organ publik karena opini bublik bergantung pada organ negara atau media, seperti pers yang menyediakan wadah komunikasi bagi publik itu sendiri. Munculnya ruang publik menandai bangkitnya suatu masa dalam sejarah ketika dalam masyarakat dapat membentuk opini publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apapun yang menyangkut kepentingan publik yang mempengaruhi praktek politik.
Ross Tapsell dalam bukunya “Kuasa Media di Indonesia” menjelaskan bahwa kaum oligark maupun warganet sama-sama diberdayakan oleh digitalisasi. Namun dengan digitalisasi ini rakyat memiliki senjata sendiri untuk melawan kuasa media oleh para elite walaupun elite juga dapat memanfaatkan media tersebut. Tapsell mengatakan digitalisasi juga menyediakan ruang bagi pemberdayaan ruang dalam tiga cara: 1. Proses demokrasi, 2. Wacana publik, memungkinkan semakin warga ikut serta dalam diskusi, membentuk konten media, dan melobi agar suara mereka didengar, 3. Mendorong reformasi kebijakan, media digital menjadi sarana penting bagi agenda reformis yang popular.
Dengan demikian mahasiswa, aktivis, organisasi buruh, dan semua rakyat yang selalu melawan pada pembungkaman bahkan penindasan saat ini memiliki senjatanya sendiri. Senjata yang dapat membelokkan arus demokrasi yang sesungguhnya, bukan yang diinginkan oleh penguasa. Yang mana mereka menginginkan rakyat yang baik-baik saja, diam tanpa ada perlawanan. Namun senjata ini haruslah dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Media digital adalah sarana kita untuk memberikan kritik pada penguasa, menumbuhkan wacana publik yang membangun, menyampaikan aspirasi. Hal ini penting karena kadangkala berita-berita dari media arus utama tak seindah kenyataan yang ada. Maka dari itu kita bersyukur ada sebuah senjata dan harus dimanfaatkan dengan baik.
Profil Singkat Penulis:
Dendy Lisna Wansyah adalah seorang ‘mantan’ mahasiswa Politik dan Pemerintahan Universitas Diponegoro yang tengah ‘senang-senangnya’ belajar menulis. Ia biasa menulis esai-esai singkat walaupun hanya dinikmati sendiri. Dendy dapat ditemui di laman Instagram @dendylisnawansyah.